Anak-anak muda jika ditanya tentang cita-cita mereka, hampir dipastikan nyaris tidak ada yang ingin menjadi politisi, atau terjun ke dunia politik. Bahkan, yang mengejutkan, terungkap bahwa banyak yang ingin menjadi YouTuber. Yup, profesi baru di masa kini yang lagi naik daun – karena menjanjikan kemasyhuran dan penghasilan besar.
Memang, tidak sedikit anak muda yang bercita-cita menjadi presiden, tapi itu hanya sekadar keinginan sesaat, yang tersapu oleh obsesi-obsesi yang lain.
Tidak dapat disalahkan, seiring dengan perkembangan zaman, cita-cita generasi muda di masa lalu dibanding generasi muda di era millenials mengalami pergeseran. Menjadi dokter, misalnya, bukan lagi impian nomer satu anak-anak muda sekarang. Sementara menjadi chef pun bukan obsesi yang tabu, mengingat profesi ini mulai mendapat tempat di hati masyarakat.
Kembali ke bidang politik, anak-anak muda kiwari masih banyak yang memandang sebelah mata. Bahkan tidak jarang ada yang menganggap bahwa politik itu kotor, serta cenderung hanya berorientasi pada uang dan kekuasaan.
Padahal berdinamika, sebutlah di kampus dan organisasi, termasuk bagian dari politik. Hanya saja aktivitas tersebut tidak berlanjut ketika terjun beneran ke masyarakat.
Dengan berbagai alasan, anak-anak muda zaman now enggan terjun ke dunia politik. Minimnya anak muda di dunia politik praktis bisa dilihat dari jumlah anggota DPR, di tingkat pusat, tingkat satu maupun dua, walaupun ada beberapa daerah politisi muda yang cemerlang namun tetap jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Menurut survei Orb Media Network, sebuah lembaga jurnalistik global, yang dalam tulisan ini bekerja sama dengan Tempo, juga menggarisbawahi kecenderungan di atas.
Survei Orb Media terhadap 979.000 orang di 128 negara yang dilakukan mulai 1980-2018, menemukan bahwa mayoritas anak muda menolak terlibat dalam politik praktis. Bahkan untuk memberikan suara pun mereka enggan, serta cenderung memilih mengadakan protes-protes di jalanan.
Kurang responsifnya partai-partai politik merangkul anak muda, boleh jadi salah satunya memang karena anak muda juga kurang bersemangat untuk masuk partai, terjun ke politik di jalur formal.
Padahal, dengan masuknya anak-anak muda ke dunia politik, banyak manfaatnya bagi negara, termasuk mempercepat proses demokratisasi yang sehat di Indonesia.
Ada beberapa alasan mengapa anak muda penting untuk berpolitik. Paling tidak, anak muda adalah garda terdepan dalam perubahan kemajuan suatu daerah, sehingga peran mereka sangat penting dalam bingkai politik.
Bukan sekadar mencoblos partai tertentu dalam pemilu, tetapi hal yang paling penting adalah berpartisipasi aktif dalam pembangunan daerah.
Jika anak-anak muda enggan berpolitik praktis, siapa yang akan meneruskan pemerintahan kelak?
Seperti disebut si depan, dunia politik memang sering dianggap negatif, dan itu memang tidak bisa dimungkiri. Nilai-nilai kebaikan yang dihasilkan dari politik kian memudar, dan kepercayaan masyarakat terhadap politik juga menurun.
Tapi, sikap apatis bukanlah sikap yang bijak, karena terjun ke politiklah yang bisa memberi kesempatan untuk berpartisipasi secara nyata memperbaiki keadaan yang dianggap brengsek, bahkan ikut berpartisipasi dalam memperbaiki sistem pemerintahan di Indonesia.
Apatis atau pun antusias, memang tidak bisa dipaksakan. Tapi yang jelas, anak muda adalah generasi penerus, mereka akan menggantikan para generasi pendahulu untuk mengisi ruang di jajaran eksekutif, legislatif serta yudikatif, dan juga beberapa posisi penting di negeri ini.
Saya sependapat dengan Andy Budiman dari Partai Solidaritas Indonesia, bahwa kemunculan anak-anak muda dalam perpolitikan Indonesia—adalah sebuah keniscayaan jika kita ingin memperbaiki mutu persaingan politik. Mereka akan menjadi kekuatan ”disruptif” yang memaksa kekuatan-kekuatan politik lama yang selama ini berada di ”zona nyaman” berubah.