Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Banyak orang yang mungkin tidak menyadari bahwa sikap terhadap suatu kelompok tertentu adalah “bias” yang merugikan, baik itu masalah ras, maupun gender, termasuk juga usia. Golongan milenial atau gen Z yang sering sekali dibahas karena kekhasan karakter mereka, tidak jarang juga menjadi bulan-bulanan dari kelompok usia lain atau menjadi korban diskriminasi usia.
Mereka sering dianggap sebagai generasi yang tidak mau susah, kurang berpengalaman, kurang profesional, sehingga tidak jarang dianggap belum qualified.
Sementara di sisi lain, mereka yang memasuki usia yang tergolong senior mulai mendapati banyak stigma tertentu. Dianggap gaptek, tidak lincah, dan senantiasa beroritentasi masa lalu sehingga sering ketinggalan zaman.
Begitu kuatnya stigma ini sehingga kita menganggap benar sampai-sampai lupa akan pengetahuan dan keterampilan yang bisa dimanfaatkan, bahkan tak tergantikan dari para senior ini, hasil dari pengalaman mereka selama bertahun-tahun bergelut dengan beragam tantangan, krisis, dan kompetisi.
Bahkan, ada organisasi yang menggunakan cara pandang ini pada suksesinya. Mereka memaksakan para milenial untuk menduduki jabatan pucuk pimpinan perusahaan penting dengan anggapan bahwa agility generasi inilah yang dapat membawa perusahaan memenangkan kompetisi pada masa depan.
Bila pertimbangan ini didasari dengan penilaian kompetensi sang milenial dengan cermat, tentu tidak menjadi masalah. Namun, bila paham ini dieksekusikan hanya atas dasar penilaian terhadap generasi millenial pada umumnya, kita perlu mewaspadai dampak keputusan ini pada nasib organisasi pada masa mendatang.
Ageism
Masalah diskriminasi usia sebenarnya dapat mengarah pada yang muda maupun yang tua. Namun, sering kali lebih diarahkan kepada yang tua dengan anggapan kemungkinan mereka untuk berkembang sudah semakin kecil. Sudut pandang yang diwarnai oleh ageism ini terkonstruksi secara sosial dan sering mengarah pada sifat negatif seperti lemah dan pikun, sementara yang muda lebih kuat dan kompeten.
Ada seorang kenalan saya yang berusia 70-an dan memang tidak menguasai coding yang dianggap sebagai keterampilan mutakhir yang mendasari digitalisasi sehingga banyak dikuasai anak-anak gen Z. Namun, ternyata dalam rapat-rapat, ia justru dengan kritis mengajukan banyak pertanyaan yang tidak terpikirkan oleh para anak muda sehingga dijadikan bahan yang perlu ditindaklanjuti dalam upaya digitalisasi perusahaannya.
Ia sama sekali tidak berorientasi pada masa lalu, tetapi pertimbangannya justru diwarnai tacid knowledge yang dimilikinya selama ini. Hasil dari bertahun-tahun malang-melintang dalam kompetisi bisnis organisasinya.
Terbukti bahwa orang yang sudah senior sebenarnya tetap bisa berkontribusi secara optimal. Bila saja kita memiliki sikap negatif terhadap orang senior seperti ini, perusahaan akan kehilangan beberapa wisdom yang sebetulnya dapat mengarahkan perusahaan lebih baik lagi.