Oleh Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Berdiri dan berbicara di depan orang banyak merupakan ketakutan terbesar sebagian besar orang. Bahkan, beberapa survei menemukan bahwa lebih banyak orang yang takut untuk berbicara di depan umum ketimbang menghadapi kematian.
Meskipun pembicara adalah seorang yang sangat ahli di bidangnya sekalipun, mereka mengaku bahwa butterfly in the stomach masih tetap mereka rasakan setiap kali mereka akan naik panggung. Kecemasan ini timbul akibat ketakutan akan pandangan orang lain terhadap kita.
Yang menarik, masalahnya bukan pada komentar negatif yang diterima (yang sering kali bahkan tidak terjadi), melainkan ketakutan itu sendiri. Situasi yang hanya berkecamuk di benak kita. Akibat rasa takut ini, sering kali energi kita habis karena sibuk mengawasi bagaimana reaksi orang lain sehingga kita tidak lagi memiliki energi untuk menampilkan performa terbaik.
Kegiatan kita berpusat untuk menganalisis pendapat orang tentang kita, mengapa pesanku hanya dijawab singkat, mengapa muka atasan berubah ketika saya mempresentasikan angka-angka ini.
Bahkan, tidak jarang beragam latihan dan persiapan yang telah dilakukan sebelumnya pun tiba-tiba menguap tak berbekas. Fenomena seperti ini dikenal dengan sebutan fear of other peopleās opinion (FOPO).
FOPO adalah proses aktivasi psikologis, fisiologis, dan fisik untuk menghindari penolakan. Dalam budaya timur, hal ini tampaknya sudah ditanamkan dalam benak kita semenjak kecil. Tak jarang kita mendengar komentar orangtua yang mengatakan āapa kata orang nantiā ketika ada tindakan kita yang di luar kebiasaan yang ada.
Kebutuhan akan penerimaan dari orang lain menjadi sedemikian kuatnya sehingga tak jarang kita tidak berani menampilkan pendapat pribadi, sikap, maupun prinsip yang kita percayai karena khawatir akan adanya penolakan dari pihak lain.
Dalam dunia kerja, FOPO yang berupa obsesi irasional dan tidak produktif ini dapat mengakibatkan performa yang tidak optimal, membuat kita menahan diri, berhati-hati, dan lebih memilih pendapat orang lain ketimbang melakukan tindakan yang benar.
Leslie Sherlin, seorang neurolog, melakukan eksperimen terhadap tiga orang pemain golf yang masing-masing adalah seorang amatir, juara klub setempat, dan profesional.
Tampak bahwa kekuatan dari pegolf profesional yang sudah berkompetisi dalam berbagai kejuaraan adalah kemampuannya untuk mengenali dan mengatur kembali gejala-gejala fisik kecemasan tampilnya, seperti pikiran yang kacau dan detak jantung yang semakin meningkat untuk kembali stabil dan terfokus sehingga tidak terlalu memengaruhi permainannya.
Seorang amatir yang bermain hanya untuk bersenang-senang sedikit terpengaruh performanya ketika harus tampil dalam tekanan yang lebih besar dengan kehadiran banyak orang.