Adaptasi

Oleh Eileen Rachman dan Emilia Jakob

Setiap kali mendengar ada peluncuran produk teknologi baru, publik senantiasa menyambut dengan antusias, menantikan kecanggihan baru apalagi yang didapatkannya kali ini. Bahkan tidak jarang orang rela antre berjam-jam untuk bisa menjadi yang pertama mendapatkan produk tersebut.

Hal–hal baru menjadi yang ditunggu, produk di tangan yang dahulu terlihat canggih tiba-tiba sekarang terasa kuno. Perubahan terlihat menyenangkan bahkan senantiasa diharapkan karena kita menjadi cepat bosan dengan yang itu–itu saja.

Namun demikian, apakah hal yang sama juga kita rasakan ketika kita adalah obyek perubahannya? Bagaimana kita menyikapi kemajuan teknologi yang mengakibatkan tenaga kerja harus kehilangan pekerjaannya karena digantikan oleh teknologi? Bahkan pekerjaan–pekerjaan kreatif seperti membuat musik, film, dan menulis pun sekarang dengan mudah dilakukan mesin-mesin artificial intelligence.

Bagaimana kita menghadapi perubahan metode bekerja menjadi paperless, ambigu, remote dengan komunikasi bersama tim yang seringkali tidak menampakkan sosoknya di layar?

Disadari atau tidak, masa depan yang kita lihat mengasyikkan ini ternyata juga sekaligus menakutkan. Evolusi tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti, melainkan terus bergerak bahkan dengan kecepatan yang lebih dahsyat lagi.

Perubahan terus terjadi, besar maupun kecil. Sepanjang hidup manusia terus berubah, dari memulai hubungan baru, pekerjaan baru, mencoba cara bekerja baru, sampai teknologi baru, merupakan hal-hal yang senantiasa kita hadapi. Dunia bisnis juga mengalami disrupsi yang luar biasa. Preferensi konsumen berubah dan berkembang terus. Apa yang dahulu digandrungi konsumen dengan cepat juga ditinggalkan mereka.

Dunia bisnis selalu harus siap menghadapi tuntutan pasar. Kegagalan untuk merangkul perubahan dapat menyebabkan kita kehilangan keunggulan kompetitif. Peraturan pemerintah pun berubah terus, sehingga setiap organisasi perlu mengejarnya dengan kebijakan, prosedur, dan praktik-praktik organisasi. Di sinilah kita mengenal suatu kekuatan yang tidak pernah kita sadari, yaitu seni beradaptasi.

Tidak ada pilihan lain kecuali merespons kebutuhan pelanggan dan segala perkembangan yang terus terjadi dengan melakukan inovasi-inovasi. Kita harus terus berpikir dan bergerak untuk menyederhanakan alur kerja, memanfaatkan otomasi, dan mengadopsi praktik terbaik untuk mencapai hasil yang lebih baik lagi. Hanya organisasi yang adaptif yang dapat membangun ketahanan organisasinya.

Namun, secara individual kita tidak boleh bergantung pada organisasi. Kita sendiri perlu selalu menjaga kekuatan adaptasi kita. Kondisi emosi perlu dijaga, karena  penolakan biasanya bersifat emosional. Dalam sebuah studi yang dilakukan McKinsey pada 2021 terungkap bahwa mereka yang gesit dalam beradaptasi memiliki kemungkinan 24 persen lebih tinggi untuk dipekerjakan.

Webinar “MAXY Talk” Ajak Mahasiswa Bangun Relasi Interpersonal

Buku legendaris "How to Win Friends and Influence People" karya Dale Carnegie kembali jadi...

Port Academy Cetak Tenaga Kerja Profesional di Sektor Bongkar Muat

Port Academy, sebagai lembaga pelatihan terkemuka di Indonesia, telah berhasil mencetak ratusan tenaga kerja...

Perkuat Kerja Sama Maritim: Kunjungan INS Mysore ke Indonesia

Dalam rangka mempererat persahabatan dan kerja sama maritim, Laksamana Dinesh K. Tripathi, Kepala Staf...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here