Oleh Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Sedari kecil, kita sering mengidolakan orang-orang hebat yang penuh keberanian. Anak-anak terkesima dengan pahlawan pemberani yang menumpas kejahatan, film-film tentang keberanian, perjuangan membela yang lemah, dan tindakan-tindakan heroik begitu digandrungi.
Namun, apakah keberanian hanya milik segelintir orang yang melawan kejahatan, yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak terbayangkan oleh kita sehari-hari?
Dalam konteks yang paling mendasar, keberanian dapat digambarkan sebagai nyali untuk melakukan sesuatu yang dibutuhkan pada saat itu meskipun berisiko bagi diri sendiri. Namun, dalam pekerjaan sehari-hari, kita tentunya jarang punya kesempatan untuk menyelamatkan orang yang dalam bahaya atau tindakan lain yang dapat membuat kita menjadi viral.
Meski demikian, keberanian adalah salah satu kualitas yang dapat membedakan kepemimpinan seseorang. Keberanian untuk mengambil keputusan dalam situasi yang dilematis dan tidak jelas, keberanian mengemukakan pendapat yang tidak popular menentang keinginan pimpinan, keberanian berbicara dari mata ke mata kepada anak buah yang bermasalah adalah hal-hal yang dapat kita jumpai dalam pekerjaan sehari-hari.
Itu tidak jarang kita abaikan karena enggan menerima konsekuensi ketidaknyamanannya. “Courage must also be expressed every day, at every level in the business world. In fact, it is not enough to simply follow orders from management.”
Dalam pekerjaan sehari-hari, kita memiliki berbagai kesempatan untuk berlatih menampilkan keberanian.
Pertama, apakah kita berani menghadapi permasalahan dengan terbuka? Seberapa sering kita mengalihkan pandangan ketika ada permasalahan dan justru berharap orang lain yang menemukan dan mengangkat hal tersebut?
Tanpa kita sadari, sering kali ada “pengecut kecil” dalam diri yang diselimuti oleh rasionalitas yang mendorong kita untuk menunda masalah. Don’t kill the messanger, pepatah yang muncul karena sering kali pencetus berita buruk alih-alih mendapatkan penghargaan malah bisa menjadi tertuduh ataupun yang dimintai pertanggungjawaban.
Kondisi ini membuat banyak orang kemudian menutup mata pada ketidakbenaran yang terjadi di sekeliling kita. Padahal, ini berarti kita juga mendukung kesalahan itu terjadi. Keberanian sejati tidak hanya berhenti sampai mengenali masalah, tetapi juga berani menyuarakannya secara terbuka meski kita menyadari adanya risiko yang harus ditanggung.