Oleh Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Siapa sih yang tidak stres saat ini? Semua orang dilanda ketegangan karena ketakutan akan penularan penyakit, masalah finansial, sampai pada kurangnya kesempatan bersosialisai. Belum lagi banyak masalah yang timbul dalam urusan pekerjaan yang sekarang ini semuanya harus dilakukan dengan cara yang berbeda.
Para guru yang tadinya berinteraksi di kelas dengan papan tulis tiba-tiba harus terampil menggunakan berbagai aplikasi pembelajaran jarak jauh.
Selain usaha ekstra yang harus dikeluarkan untuk memastikan perhatian semua anak didik tetap di kelas selama berlangsungnya pelajaran, guru harus memikirkan cara kreatif mengelola materi pelajaran mengingat durasi belajar jarak jauh yang juga dipersingkat.
Saat ini, semua isu tidak bisa lepas dari konteks pandemi. Meskipun perlahan-lahan pemerintah mulai mendorong aktivitas bisnis berjalan kembali, dengan jumlah individu positif yang terus bertambah dari hari ke hari, semua bisnis, terutama yang bergerak di bidang jasa, tidak mungkin tidak terkena dampaknya.
Pemotongan gaji, merumahkan karyawan, bahkan sampai PHK terdengar di mana-mana. Sementara itu, mereka yang masih bisa bekerja dari rumah pun tidak terlepas dari kejenuhan, perasaan terperangkap, ataupun kecemasan dan depresi akibat sasaran produktivitas yang kurang jelas.
Kita tahu bahwa kita harus sehat mental. Kita juga sudah diingatkan untuk menjaga kewarasan di tengah situasi yang tidak pasti ini. Lingkungan kerja seperti kolega, pertemuan di lorong kantor, makan siang bersama di jam istirahat ternyata merupakan support system yang kuat.
Mungkin karena kita sama sekali tidak memiliki bayangan mengenai apa yang bisa terjadi di hari esok ditambah informasi yang simpang siur, maka stres saat sekarang dipandang lebih berat.
Namun, dalam semua keadaan menghadapi stres, diri kita sendirilah yang sebenarnya perlu kita garap untuk menjadi kuat. Kita tidak bisa mengontrol faktor-faktor eksternal, tetapi kita dapat mengontrol diri sendiri.
“Perspective is power”
Apapun penyebab stresnya, apakah karena tidak bisa membayar cicilan, anggota keluarga sedang sakit, ataukah tinggal di rumah yang keadaannya tidak memadai, tetap memberikan dampak yang sama, yaitu ketegangan seluruh sistem syaraf dan kecenderungan untuk berespon fight or flight. Fungsi-fungsi pencernaan, reproduksi, kognitif, dan kekebalan tubuh akan terganggu.
Cara kita memberi arti terhadap suatu situasi memang sangat berpengaruh terhadap tingkat stres. Ada orang yang memandang setiap kejadian sebagai suatu kemalangan, tetapi sebaliknya ada yang tetap bisa merasa bersyukur dalam situasi yang sama.
Ada orang yang memiliki sense of control yang kuat terhadap dirinya, ada pula yang cepat merasa pasrah dan melihat dunia luar lebih berkuasa daripada dirinya sendiri. Dari sinilah kita melihat kecenderungan orang untuk bersikap optimis atau pesimis.
Optimisme memang memiliki dampak yang lebih positif dalam hidup kita baik secara fisik dan psikis. Fokus pada hal-hal baik dalam hidup yang bisa kita syukuri, afirmasi-afirmasi positif, dan melihat keharusan justru sebagai sebuah kesempatan yang perlu disyukuri.
Di tengah segala perubahan dan kesulitan hidup, kita pun masih bisa menikmati banyak hal, termasuk musik, kreativitas, kebaikan satu sama lain.
Strategi pilihan untuk menanggulangi keadaan
Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk menjaga kewarasan dalam masa ini. Pertama kelola fisik. Seorang dokter gizi mengatakan bahwa olah raga santai, tetapi teratur akan membuat sistem tubuh kita menguat, memperbaiki pernafasan, dan membuat kualitas tidur yang lebih baik.
Kita juga bisa memperhatikan asupan makanan yang lebih sehat dan berpengaruh pada kekebalan tubuh.
Kedua, Kelola Harapan. Ambisi–Kenyataan– Usaha atau dikenal dengan konsep AKU mengajarkan bagaimana kita perlu mengkaji ulang ambisi bilamana kenyataan yang ada masih begitu jauh dari ambisi, sementara energi untuk berusaha bisa jadi terlalu besar sehingga hampir tidak mungkin dilakukan dan menimbulkan rasa frustrasi.
Persempit jarak antara ambisi dengan kenyataan akan membuat usaha memang memberikan dampak yang diharapkan dan pada akhirnya memberikan rasa percaya diri untuk semakin meningkatkan daya usaha kita mencapai ambisi yang lebih besar lagi.
Ketiga, kelola perhatian. Attention span kita terbatas, baik secara intensitas maupun kuantitas. Tidak banyak hal yang bisa kita perhatikan sekaligus dalam satu kurun waktu. Itulah sebabnya, kita perlu memilih apa yang akan difokuskan dan apa yang perlu disingkirkan dari perhatian.
Keempat kelola informasi. Beragam berita di media sosial maupun portal-portal berita yang begitu banyak jumlahnya belum tentu benar. Sebaiknya pilih sumber berita yang Anda bisa percaya dan abaikan berita dari sumber lain.
Kelima kelola pikiran. Fokus kepada hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan menerima hal-hal yang di luar kontrol kita.
Penyebaran virus mematikan ini memang di luar kendali, tetapi kita bisa berupaya memperkecil risiko penularan dengan selalu menjaga kebersihan, membatasi ruang gerak yang tidak perlu, dan menggunakan masker dalam setiap interaksi sosial.
Dengan demikian, kita tidak lagi merasa helpless dalam situasi yang mengkhawatirkan ini.
Bahkan, bila bisa melakukan tindakan-tindakan membantu orang lain yang kesulitan, ini akan membuat kita merasa lebih powerful lagi.
Selain mengelola persepsi dan cara pikir, kita bisa melakukan hal-hal sederhana yang kita nikmati. Kita bisa tetap menjaga silaturahmi dengan teman, kolega, dan saudara walaupun tidak bertemu muka, saling bertukar resep masakan, buku maupun cerita. Physical distancing does not need to mean social disconnection.
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 25 Juli 2020