Amerika Serikat dan Jepang sudah puluhan tahun masuk dalam datar Top 3 kekuatan ekonomi dunia. Bisnis busana di kedua negara tersebut juga tergolong paling moncer di dunia.
Bagi yang kasmaran pada dunia busana, tentu paham betul betapa dahsyatnya pengaruh jaringan peritel dari Jepang dan Amerika – Uniqlo dan Kohl’s – terhadap gaya busana masyarakat.
Para perancang busana dari kedua adidaya ekonomi itu juga kerap jadi perbincangan media busana di seluruh dunia. Dari Jepang, nama-nama seperti Issei Miyake, Kenzo Takada, Hanae Mori sudah lama akrab dengan berbagai media tersebut. Demikian pula dengan Donna Karan, Ralph Lauren, Jason Wu, Oscar de la Renta dari AS.
Ketika melawat ke beberapa kota di Eropa pada musim dingin ini, dan Jepang pada musim semi tahun lalu, saya melihat hal yang sama dengan kota-kota besar dunia lainnya.
Di kawasan belanja supermahal seperti Goethe street di Frankfurt, yang kerap dijuliki ‘fifth avenue of Germany’, nama-nama besar Eopa tampak jauh lebih dominan ketimbang para pesaingnya dari Amerika dan Jepang. Kawasan Ginza di Tokyo pun sama saja meski orang Jepang sangat nasionalis.
Dominasi Ferragamo, Prada, Versace, Tifany, Gucci, Jill Sander, Hermes tampak mencolok di kedua kawasan super wah itu. Kaum fanatik busana berkocek tebal dari berbagai penjuru dunia kerap tampak keluar-masuk di toko-toko tersebut.
Mobil-mobil wah mereka seperti Lamborghini, Ferari, Bentley, Porsche, Aston Martin, dan Rolls Royce pun menjadi pemandangan biasa di tempat parkir.
Namun semua itu tidak dicapai dengan mudah. Kisah sukses Eropa dalam industri busana papan atas tak lepas dari sejarah panjang, dan gairah besar terhadap keindahan serta kreativitas di bidang fesyen.
Salah satu buktinya adalah penetapan hukum di Perancis pada 1945 tentang rumah mode. Hukum yang berlaku sampai sekarang dan sangat dihormati di seluruh dunia itu menetapkan, hanya komisi chambre syndicale de la haute couture berhak menentukan rumah mode mana yang boleh memakai label haute couture.
Sampai kini lisensi dari komisi yang didirikan pada 1868 itu ibarat kunci pintu surgawi. Maklum, label haute couture bagi pemiliknya ibarat jalan tol menuju kemasyhuran dan kekayaan berlimpah. Mereka akan senantiasa dikelilingi oleh para selebriti top dunia dari segala bidang, dan disambut dengan ‘karpet merah’ ketika berkunjung ke mana saja.
Nama mereka juga akan diabadikan oleh media masa ternama dunia, seolah membenarkan apa yang pernah dikatakan oleh filsuf Yunani kuno Hippocrates, yang hidup beberapa abad sebelum masehi: “Hidup itu pendek, sedangkan seni berumur panjang.”
Nah, yang membuat para pecinta haute couture rela mengeluarkan uang demikian banyak adalah.lantaran produknya tak cuma indah, tapi juga eksklusif dan elitis.
Semua ini bias membuat pemakainya tampil lebih percaya diri, tanpa khawatir dicela sebagai manusia outdated yang gampang terlupakan. Jadi jangan heran bila di panggung-pangung selebriti dunia, termasuk di kancah bisnis dan politik, bertebaran busana haute couture.
Semua itu sejalan dengan pikiran Coco Chanel, perancang busana yang merajai di Paris selama 6 dekade sampai 1971. “Agar tak tergantikan, seseorang harus selalu tampil beda,” tuturnya.
Chanel juga melihat “seorang perempuan seharusnya terdiri dari dua hal: berkelas dan menakjubkan.” Tentu tak berlebihan bila apa yang dikatakan Chanel sesungguhnya juga berlaku bagi kaum pria.
Agar bisa tampil seperti apa yang dikatakan Chanel, banyak orang yang tak peduli pada asli atau palsu. Sebuah kenyataan yang ternyata didukung oleh sebagian perancang busana. Mereka tak marah bahwa perputaran bisnis busana bajakan bisa mencapai multi-miliar dolar per tahun.
Saking besarnya perputaran uang, tak sedikit pekerja yang diperbudak habis-habisan oleh para pembajak dunia busana.
Indonesia adalah satu negara dimana produksi dan pasar barang palsunya sudah lama menjadi sorotan dunia. Berbagi operasi pun telah dilancarkan oleh aparat penegak hukum, dan banyak pembajak ditangkap. Hanya saja berbagai aksi tersebut tak pernah mengubah citra Indonesia sebagai surga barang palsu.
Giorgio Armani adalah salah salah satu perancang top dunia yang tak peduli pada pembajakan karyanya. “Sesungguhnya saya sangat gembira masyarakat bisa beli Armani – meski yang dibeli adalah barang palsu. Saya menyukai kenyataan bahwa saya terkenal di seluruh dunia,” katanya.
Bagi banyak orang, palsu atau asli memang tidak penting. Yang penting ada merek seperti Armani atau Versace. Demikian gilanya pada merek, mereka sampai tak peduli pada soal matching.
Mereka berprinsip, norak atau tidak itu urusan lain. Yang penting trendi dan bermerek-meski palsu. Dalam hal ini agaknya mereka belum pernah mendengar atau tak peduli pada apa yang dikatakan Gianni Versace.
“Jangan terperangkap dalam tren. Jangan biarkan biarkan fesyen menguasai dirimu, biarkanlah dirimu menentukan macam apa dirimu itu, apa yang mau kamu ekspresikan melalui cara berbuasana dan cara kamu menjalani hidup.”
Pikiran Versace pada dasarnya sama dengan judul lagu The Rolling Stone, The Singer Not the Song. Ide yang sama juga pernah diungkapkan perancang busana legendaries dari Prancis, Yves Saint Laurent, “selama bertahun-tahun saya mempelajari bahwa apa yang penting dalam sebuah busana adalah wanita yang memakainya.”
Tapi bila sungguh-sunguh ingin dikatakan cantik, cara berdandan hanya sebagian saja dari yang diperlukan kaum wanita. Dalam konteks ini sebakinya standar yang dipakai oleh ajang Miss Universe disimak baik-baik.
Para juri di ajang bergengsi ini akan menentukan pemenangnya berdasarkan empat kriteria: brain, beauty, behavior, dan brave. Nah! (Gigin Praginanto)
Sumber: MALE 67