Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Masalah kebahagiaan banyak menjadi isu pada masa sekarang. Apalagi, dengan banyaknya musibah bertubi-tubi menghampiri, banyak yang semakin yakin, you can’t buy happiness.
Ada yang merasa memiliki beban yang berat, terus-menerus mengeluhkan situasi maupun orang lain di sekitarnya. Ada yang tertawa keras-keras berkata, hidup sudah banyak kesusahan, jangan terlalu dipikirkan.
Bila ditanya apakah mereka merasa bahagia, jawabannya bisa bermacam-macam. Ada yang sampai masa tuanya tidak pernah berdialog dengan dirinya sendiri mengenai kebahagiaan, hanya menjalani saja kehidupannya sesuai dengan tuntutan lingkungan.
Kebahagiaan setiap orang memang sangat relatif, sulit untuk diukur dari luar. Kita terkejut ketika artis seperti Robin Williams yang sering menghibur penggemarnya ternyata menderita depresi hingga mengakhiri hidupnya sendiri.
Apakah dialog dengan diri sendiri mempertanyakan makna kebahagiaan dapat membawa manusia kepada rasa putus asa?
Kita tahu, kebahagiaan dapat membuat orang lebih sehat mental. Kebahagiaan juga dapat membuat orang mengontrol kebutuhannya dan memikirkan orang lain. Di Indonesia, kita sudah pernah melakukan dua kali pengukuran mengenai Indeks Kebahagiaan.
Tahun 2013-2014 menggunakan satu dimensi, yaitu kepuasan hidup (life satisfaction), sementara pengukuran berikutnya pada tahun 2017 menggunakan tiga dimensi, yaitu kepuasan hidup, perasaan (afeksi), dan makna hidup (eudaimonia).
Penelitian ini menunjukkan indeks yang lumayan tinggi pada orang Indonesia, terutama pada indeks kepuasan hidup sosial. Indeks kepuasan hidup sosial di perdesaan ternyata mendapatkan beberapa poin lebih tinggi.
Terlepas dari ukuran nasional ini, kita perlu kembali pada diri masing-masing, apakah kita bahagia dan bagaimana dapat menaikkan tingkat kebahagiaan ini karena siapa yang tidak mau menjadi lebih bahagia, bukan?
Kebahagiaan memang menggetarkan. Namun, menggambarkan apalagi menguraikannya, cukup sulit untuk dikerjakan. Sudah banyak filsuf, ahli agama, psikolog, bahkan ahli ekonomi yang berusaha untuk mendefinisikannya.
Pada tahun 1990, gerakan Positive Psychology berusaha menjabarkan kebahagiaan bukan sekedar mood positif, tetapi lebih pada keadaan well being yang meliputi hidup berkualitas yang memiliki makna dan kedalaman rasa.
Ada orang yang menyangka, bila ia meraih atau memiliki sesuatu, ia akan merasa bahagia. Misalnya, kita akan bahagia kalau sudah memiliki rumah sendiri. Padahal, manusia berubah terus, keinginannya pun berubah terus. Bila sudah memenuhi kebutuhan tertentu, kebutuhan lain akan muncul, dan individu akan berusaha meraih sasaran baru itu.
Jadi, sesungguhnya sangat sulit bila kita ingin mengukur kebahagiaan dari terpenuhinya suatu kebutuhan, baik mendapatkan profesi impian, menikahi seseorang, maupun menjadi kaya dan sukses.
Beberapa pilar kebahagiaan
Beberapa ahli psikologi positif menyatakan, menemukan kebahagiaan adalah proses yang berlangsung terus-menerus. Sepanjang seseorang berupaya mengisi hidupnya dengan arti dan kebaikan, mengembangkan tingkah laku positif seperti optimisme, rasa syukur, cinta kasih, murah hati, sebenarnya ia sedang mengembangkan beberapa pilar yang dapat dengan kuat menopang rasa bahagia dalam hidupnya.
Tentunya setiap individu memiliki resep bahagia yang cocok bagi dirinya masing-masing sehingga langkah untuk menuju tahap itu pun bisa jadi berbeda-beda.
Hal yang sangat penting untuk disadari adalah mengambil tanggung jawab pribadi untuk menjadi bahagia dan harus bertindak bila ingin mengubah sesuatu. Kitalah yang harus paling dulu mempraktikkan hidup bahagia saat sekarang, mulai dengan berupaya memberi arti bagi kehidupan kita yang sekarang.
Tiga pilar yang akan terus menopang rasa bahagia dalam hidup kita adalah spiritualitas, agama, dan mindfulness. Ini semua senjata pertahanan dalam menghadapi situasi terkini, ketika kita mengobservasi pemikiran dan emosi orang lain tanpa membuat penilaian apa pun. Agama juga memiliki kapasitas untuk menimbulkan rasa lega dan kegembiraan.
Setiap agama pasti mengajarkan tindakan yang baik, berbagi dengan sesama, mengasihi, mengampuni, dan mengembangkan hubungan baik dengan Sang Pencipta, sesame, dan bumi. Dengan mempraktikkan kebiasaan-kebiasaan ini, potensi kita untuk merasa “berisi” akan semakin membesar.
Keterbatasan uang, terganggunya kesehatan, ataupun tahap kehidupan lain yang bisa jadi membuat kita terguncang dengan keadaan kita, seyogianya jangan sampai menggoyahkan kita untuk tetap berpegang pada tiga pilar tadi.
Baru-baru ini, di pertunjukan America Got Talent di Amerika, seorang penyanyi yang mendapatkan golden buzzer saking bagusnya. Nightbirde, demikian ia menyebut dirinya.
Selain bersuara merdu, menciptakan lagunya sendiri, ia juga sangat istimewa karena dokter yang merawatnya mengatakan bahwa hidupnya tinggal 2 persen lagi. Kanker sudah merambah ke hampir semua organ tubuhnya.
Namun, ia tidak putus asa. Ia tetap mengikuti kontes dan melakukan apa yang bisa ia lakukan karena menurutnya dirinya jauh lebih besar dari sekedar sakit yang dideritanya ini. Ia bahkan menasihati juri untuk tidak menunda merasa bahagia.
Apakah ada tanda-tanda orang yang sudah hampir mencapai tingkat kebahagiaan yang baik?
Orang yang hidup bahagia dengan tujuan hidupnya, biasanya menikmati hubungan interpersonal dengan lingkungan sosialnya, dan rajin berusaha mencapai sasarannya. Mereka hidup sesuai dengan nilai-nilai pribadinya. Orang-orang ini biasanya merasa bahagia dengan hal-hal yang sederhana, seperti memelihara binatang, duduk di bawah pohon, menyeruput kopi, atau membaca buku.
Dampak dari pola pikir yang jelas ini juga terlihat pada energi dan kapasitasnya. Ia lebih mudah belajar sesuatu yang baru, mudah menyesuaikan diri, tidak cepat terganggu oleh hal-hal kecil yang tidak beres, dan bisa ikut berbahagia dengan kebahagiaan orang. Anda bisa, bukan?
EXPERD – HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 7 Agustus 2021