My Travel My Adventure
Oleh Jeffrey Wibisono V.
Pasca pandemi, pembatasan perjalanan di hapus, euphoria wisata balas dendam dan semarak case overtourism di beberapa kawasan dalam dan luar negeri. Lantas, saya mesti refresh, berlibur dimana?
Buat saya, mencari satu destinasi untuk liburan ke luar negeri mirip dengan berkegiatan mencari buku bacaan di toko buku. Sama menariknya. Dari mulai tertarik dengan judul dan gambar di sampul depan, kemudian menelaah rangkuman premis dan diksi dari buku yang sedang saya pegang.
Teman-teman percaya toh, kalau ilmu marketing mengatakan people do not buy products, they buy emotions dan ada pengaruh social validation di situ.
Lalu apa yang menarik perhatian saya untuk memutuskan my next holiday destination? You do not attract what you want, you attract what you are! Yang pasti pertanyaan pertama adalah “ada apa di sana?”
Traveler lain, menurut saya, melakukan hal yang mirip yaitu mulai dari menyusun top-most-priority untuk dibaca dan dibahas ulang bersama teman perjalanan –bagian dari mematangkan perencanaan dan memfinalkannya. Sangat subyektif. Dan kita belum berbicara hal climate change terkait rencana berlibur kita.
Kemudian, kalau kita berhandai-handai sebagai “turis” yang tertarik untuk liburan di Indonesia, –mengusung genre traveler generasi baru yaitu Milenial, iGeneration dan Alpha kelahiran 1990an dan 2000an—, kira-kira apa yang menarik perhatian kita?
Dari total 17.504 pulaunya saja, tidak mungkin kita bisa mengunjungi, menangguk experience kehidupan kepulauan Indonesia, sekalipun menikmatinya menggunakan masa cuti panjang selama 30 hari.
Tetapi –catat– kita bisa mengunjungi wilayah Indonesia ber-ulang-ulang dan mendarat di pulau yang berbeda-beda — island hopping, tergantung tujuan pengalaman yang hendak kita timba.
Dalam pemikiran saya, salah satu pembangkit minat untuk Indonesia menjadi pilihan future traveler melalui people – beragam suku dan budayanya menjadikan Indonesia memiliki potensi destinasi-destinasi tematik.