Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Pernah seorang atasan ditanyai apakah ia sadar telah melukai hati bawahannya dengan kata-katanya yang menunjukkan ia tidak percaya pada kualitas kerja anak buahnya. Bahkan, membuat mereka merasa kecil dan bodoh dengan tidak mengeluarkan pernyataan positif.
Ternyata si atasan tidak pernah menyadari hal itu, bahkan menganggap bahwa hal tersebut adalah cara mendidik anak buah agar “jadi orang”. Ia menganggap kalimat empatetis kurang businesslike dan khawatir malah tidak dianggap oleh anak buahnya. Sementara itu, alih-alih berkembang, anak buah malah semakin menjaga jarak menghindari konfrontasi dengan atasannya.
Dua tahun terakhir ini, isu well-being semakin banyak diangkat ke permukaan, seiring dengan meningkatnya kesadaran orang tentang kesehatan fisik yang perlu diikuti juga dengan kesehatan jiwa. Rupanya kita memang tidak cukup bila hanya fokus pada hal-hal operasional dan sumber daya.
Kelly Greenwood dan Julia Anas dalam It’s a New Era for Mental Health at Work, menyatakan, semakin kuat hubungan personal di organisasi, semakin jarang karyawan izin sakit. Jadi, agar karyawan lebih produktif dan inovatif, atasan perlu mengubah cara komunikasinya. Using emotionally supportive language is an important part of that.
Toxic positivity
Kita percaya bahwa kalimat yang kita gunakan akan mempengaruhi cara berpikir kita, mempengaruhi emosi kita, dan bisa menularkan emosi tersebut ke orang lain. Ada pepatah “mulutmu adalah harimaumu” agar kita berhati-hati dengan yang kita ucapkan.
Jangan sampai membawa hal-hal buruk menjadi kenyataan, jangan sampai menyakiti orang lain dengan tidak mengeluarkan pernyataan positif. Ada orang yang sampai pantang mengucapkan kata bangkrut, rugi, susah, dan lain sebagainya.
Namun, bila kita meminta orang yang sedang bermasalah untuk tetap berpikiran positif, dampaknya bisa jadi malah membuat mereka semakin merasa terasingkan. Dengan tujuan untuk menenangkan atau membangkitkan pikiran positif mereka, kita memberikan pernyataan-pernyataan seperti “semua hal itu pasti ada hikmahnya” atau “kita positif thinking saja deh, jangan mikir yang enggak-enggak”.
Tanpa kita sadari, hal itu sebenarnya tidak memberikan kelegaan sama sekali kepada teman atau anak buah yang sedang dalam kesusahan, justru membuat mereka semakin tertekan karena tidak dapat melepaskan emosi negatifnya.
Baca juga: Aha, One Man Show!
Menurut Tabitha Kirkland, psikolog dari University of Washington, penyebab dari toxic positivity adalah kurangnya empati. Individu yang tidak nyaman dengan emosi-emosi negatif dan tidak tahu bagaimana cara bereaksi yang tepat, cenderung menggunakan pernyataan-pernyataan yang positif ini agar emosi negatif yang mereka rasakan ini segera berganti.
Ada juga individu yang dengan cepat memberikan solusi yang mereka pikir dapat menyelesaikan masalah teman yang sedang ditimpa kemalangan ini.
Tujuannya memang baik yaitu ingin memberikan semangat baru atau jalan keluar. Namun, pada implementasinya, hal ini sebenarnya justru dapat membuat orang yang sedang mengalami masalah merasa terabaikan, terasing, tidak memiliki orang yang dapat memahaminya.