Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Seorang wirausaha berhasil membangun kerajaan bisnisnya dari nol. Ia mempelajari sendiri semua keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkannya dalam berbisnis. Mulai dari berhubungan dengan supplier, pelanggan, sampai pemerintahan.
Ia selalu menemukan produk yang tidak terpikirkan oleh orang lain, dan berhasil menjualnya ke pasar. Di bawah pimpinannya, perusahaan maju pesat mencengangkan banyak pihak. Namun, sekarang, ia sudah memasuki usia lanjut dan harus mendelegasikan kepemimpinannya.
Ia sangat berharap bahwa para bawahan dapat mewarisi semangat belajar dan berinovasinya. Ia bahkan menggambarkan keinginannya ini dalam bentuk menggariskan learning organization sebagai budaya perusahaan. Namun, kenyataannya, seiring dengan semakin berkurangnya keterlibatannya di organisasi, derap inovasi, dan agresivitas perusahaan juga mengendur.
Ternyata, tidak gampang menularkan semangat belajar, membutuhkan usaha dan proses yang panjang.
Sementara itu, dampak dari kegagalan mewariskan semangat belajar ini terasa pada kurangnya inovasi, tumpulnya strategi dan kultur yang tidak menggambarkan sikap eksplorasi yang tadinya ada pada para founding fathers. Padahal, semua sepakat, kesuksesan perusahaan terjadi karena inovasi yang tiada henti.
Alangkah saktinya semangat belajar ini untuk menentukan kelangsungan hidup perusahaan. Bagi wirausaha, ini: personal growth = company growth.
Masalahnya adalah bagaimana perusahaan dapat mengamalkan semangat belajar ini sebagai sebuah lifelong learning seluruh insan organisasi sehingga perkembangan perusahaan pun berjalan secara berkesinambungan.
Di kalangan perusahaan-perusahaan yang tergolong muda seperti Google, lifelong learning merupakan nilai yang sangat penting. Para eksekutif mati-matian menanamkan kebiasaan belajar, bertanya, mempertanyakan, dan membuang kebiasaan berpikir lama-lama. Semangat ini pun diturunkan secara top down.
Sundar Pichai, sang CEO, mengontrol sendiri keseluruhan proses ini. Ia sangat menyadari, begitu pembelajaran tidak berjalan baik, pengembangan perusahaan akan mati.
Tampaknya, hampir semua perusahaan sudah menyadari, pembelajaran sangat dibutuhkan dan harus berlangsung sepanjang hidup perusahaan, bukan hanya sesaat.
Apalagi saat seperti sekarang ketika perubahan berjalan demikian cepat. Namun, kita sendiri juga menyaksikan, proses pembelajaran ini tidak selamanya berjalan mulus. Pembelajaran yang dimaksud ini adalah penciptaan pemahaman baru, bukan sekedar transfer pengetahuan yang sudah ada atau sekedar program upskilling.
Inilah yang sering menjadi salah kaprah. Dengan diadakannya program-program learning di perusahaan, diasumsikan pembelajaran sudah terjadi. Padahal, sebelum pengetahuan meluas dengan terciptanya knowledge baru, pembelajaran sebenarnya belum terjadi.
Misalnya saja seorang yang bergerak di bidang marketing, harus melihat bagaimana orang melakukan pemasaran melalui berbagai media sosial sampai ia bisa menemukan insight bagaimana metode marketing yang tepat bagi organisasinya.
Teknologi Informasi perlu mendalami kemajuan artificial intelligence. Kesemuanya tidak cukup hanya dilakukan sekali, eksplorasi ini berjalan sepanjang hidup. Peter Drucker mengatakan, hal ini termasuk dalam human imperative masa kini.
Passion of the explorer
Mengapa orang bisa belajar terus tanpa lelah? Apa yang membedakan individu ini dengan individu yang melihat pembelajaran sebagai proses yang terpotong-potong?
Ternyata, ada beberapa hal yang membedakan seorang pembelajar sepanjang hidup dan seorang yang belajar karena diwajibkan atau ingin mempelajari keterampilan tertentu.
Pertama, para explorer memang memiliki komitmen jangka panjang terhadap area khusus yang diminatinya, meskipun bisa saja berbeda dengan keterampilan yang sedang ditekuninya. Misalnya, seorang ahli keuangan yang senang berbelanja dan membandingkan produk kompetitor perusahaannya menyebabkan rasa ingin tahu yang tidak pernah putus seputar merchandising produk.
Para explorer ini tidak menganggap kegagalan sebagai sebuah kemunduran. Mereka justru bersemangat dan belajar dari penyimpangan, keanehan dan kejutan-kejutan lainnya. Kesemuanya itu dianggap sebagai tantangan baru dalam usahanya mencari solusi baru. Apakah jumlah individu dengan karakteristik seperti ini banyak di perusahaan?
Penelitian di Amerika terhadap sejumlah perusahaan menunjukkan bahwa hanya sekitar 14 persen karyawan yang memiliki semangat belajar dengan semangat seperti ini. Mengapa demikian rendah?
Bukankah kita semua pernah muda menjadi anak kecil yang selalu mewarnai semangat belajarnya dengan rasa ingin tahu, imajinasi, kreativitas, keberanian mengambil risiko dan berhubungan dengan orang lain? Mengapa kita seolah melupakannya dan tidak bersemangat lagi dalam belajar kita sekarang?
Seorang yang bekerja di departemen procurement untuk sebuah perusahaan produsen mobil, berusaha mencari cara baru agar pihak perusahaan dapat menyeleksi vendor dengan lebih teliti. Ia begitu bersemangat dengan menerapkan metode barunya ini.
Namun, rupanya direksi tidak menyukai tindakannya yang dianggap terlalu berani sehingga kariernya pun bermasalah. Fixed mindset seperti ini dapat menyebabkan semangat dan motivasi individu untuk bereksperimen dan menemukan hal baru menjadi padam.
Hal inilah yang perlu diperangi bila kita ingin membangun semangat pembelajaran tanpa henti di perusahaan.
Fokus pada penghambat yang nyata
Setiap departemen dalam organisasi pasti memiliki ukuran prestasinya sendiri. Hal inilah yang sering menyebabkan sulitnya mengontrol perkembangan spirit belajar.
Kita bisa memulainya dengan mencari tahu apa aspek terpenting dalam KPI perusahaan yang menjadi target bersama seluruh departemen. Aspek ini diumumkan ke seluruh perusahaan, lengkap dengan segala langkah yang perlu dilakukan untuk mencapai target perubahannya.
Hargai setiap ide secara positif karena proses belajar tentunya akan lebih mengalir dan membangkitkan semangat bila semua individu saling menghargai ide dan pemikiran satu sama lain. Dengan demikian, upaya membentuk kembali budaya belajar yang penuh semangat pun mulai terbangun.
Continuous learning is the minimum requirement for success in any field. – Brian Tracy
EXPERD, HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 30 Oktober 2021