Berhenti Tenang

Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob

Istilah quiet quitting tiba-tiba menjadi fenomena yang dibicarakan orang akibat informasi di media sosial Tiktok. Beberapa pihak ada yang mengaitkannya dengan kondisi stres dan kebutuhan untuk healing, sampai ada aplikasi baru yang berusaha mengakomodasi kebutuhan individu-individu untuk “curhat” mengenai kondisi mereka ini.

Pertanyaannya, apakah ini gejala yang baru muncul terkait kondisi yang sering kita sebut sebagai disruptif? Atau, sebenarnya ini gejala lama yang baru sekarang dimunculkan ke permukaan akibat kekritisan generasi muda terhadap yang mereka amati dan rasakan di sekeliling mereka?

Para ahli manajemen SDM berpendapat bahwa gejala ini sesungguhnya sudah ada sejak dulu. Engagement yang rendah dari karyawan di organisasi adalah tanda adanya quiet quitting ini. Kita sering menggolongkan karyawan dalam dua golongan.

Pertama, mereka dengan sense of belonging yang tinggi, diasumsikan memiliki loyalitas yang tinggi. Kedua, golongan orang dengan sense of belonging rendah yang diasumsikan tidak loyal terhadap organisasi, yang bila ada kesempatan segera akan meninggalkan organisasi.

Kita sering lupa bahwa ada golongan lain, yaitu mereka dengan sense of belonging rendah, tetapi tidak berpikir untuk keluar dari organisasi. Kelompok orang ini tidak bisa dengan cepat kita golongkan sebagai orang yang tidak berkinerja. Mereka bisa saja tetap mencapai target yang ditetapkan organisasi walaupun hanya secukupnya. Mereka juga biasanya cukup tertib mengikuti aturan organisasi dan menghindari masalah yang tidak perlu bagi pribadi mereka.

Namun, yang jelas mereka bukan orang yang mau meluangkan waktu untuk berpikir lebih jauh demi kepentingan pengembangan organisasi. Mereka pun enggan untuk berprestasi dengan “walking the extra mile”, berbuat, dan berpikir lebih.

Kita seringkali menemukan tipe orang seperti ini yang berada dalam sebuah organisasi selama bertahun-tahun, yang hanya bekerja demi upah bulanannya saja. Mereka bisa dikatakan sebagai kelompok “quit and stay”, individu dengan tubuh di kantor tapi jiwanya entah berada di mana.

Hasil penelitian Gallup mengatakan bahwa 50 persen tenaga kerja di organisasi adalah quiet quitters. Bisa kita bayangkan berapa besar kerugian yang kita alami selama ini karena mengandalkan SDM yang hanya berfungsi separuh (bahkan mungkin juga kurang) dari kapasitasnya.

Sebetulnya apa yang terjadi pada kalangan karyawan seperti itu? Apa alasan mereka tidak memberikan hatinya pada organisasi? Bukankah organisasi adalah sumber mata pencaharian mereka?

EX, employee experience

Semua orang sibuk membahas tentang UX (user experience), CX (customer experience), tapi kita lupa untuk membahas EX (employee experience). Para ahli mendefinisikan employee experience sebagai penjumlahan dari sekian banyak momentum berkesan yang dialami karyawan dalam kehidupannya sehari-hari di organisasi, baik yang menyenangkan maupun menyakitkan hatinya.

Evista Taksi Listrik: Solusi Transportasi Terpercaya, Nyaman, dan Aman

Taksi Listrik Evista hadir sebagai solusi transportasi inovatif yang memudahkan perjalanan dari rumah ke...

Kemenangan Mahasiswa BINUS ASO School of Engineering di Lintasan Balap

Kuliah jurusan otomotif sambil mencetak prestasi di dunia balap? Ini bukan hal yang mustahil,...

SRIBUFEST 2024: Event Freelancer untuk Bangun Jaringan dan Peluang Kerja Tanpa Batas

Industri kreatif di Indonesia semakin berkembang pesat, terutama di kalangan freelancer yang kini menjadi...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here