Makanan Nusantara sarat nilai dan makna
Food Culture Alliance menyampaikan bahwa budaya pangan adalah cara kita sebagai masyarakat memikirkan, menghargai, dan menilai pangan yang kita konsumsi.
Ini merupakan cerminan dari keyakinan, norma, nilai, dan identitas kita, baik secara individu maupun sebagai masyarakat. Begitu Tama menegaskan. “Budaya ini memberi makna pada makanan melalui simbol, label, dan ritual, baik dalam keseharian maupun momen istimewa.”
Virginia menilai bahwa gastronomi Indonesia tidak sekadar soal the art of good eating. “Bicara tentang budaya pangan di Indonesia berarti bicara tentang nilai, kebiasaan, pengetahuan, dan praktik terbaik. Ada budaya pangan leluhur yang dibawa ke rumah masing-masing. Dan, semakin dalam kita mempelajari tradisi ini, akan semakin bagus. Sebab, kita akan mampu memahami alasan di balik pembuatan setiap makanan.”
Sejalan dengan Virginia, Khoirul Anwar, Pendiri Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI), menjelaskan, jika membahas pangan lokal ada dua aspek yang terkait. Pertama, pangan lokal berarti bahan pangan yang menjadi potensi suatu daerah. Kedua, makanan khas daerah tersebut.
“Makanan di setiap daerah bukan sekadar makanan. Ada nilai dan makna yang tersirat di dalamnya, melekat mulai dari sejarah dan fungsi, yang dipengaruhi oleh ketersediaan bahan. Karena itu, ketika kita pergi ke suatu daerah, kita akan menemukan makanan khas. Kita bisa menelusuri, apa yang mendasari makanan itu ada. Pasti ada sejarah yang menceritakan kenapa makanan tersebut menjadi khas di daerah tertentu.”
Seiring berkembangnya zaman sejumlah nilai dalam budaya pangan mulai bergeser. Virginia mengamati, ada nilai yang pernah ada dan tidak dipakai lagi, ada nilai yang masih dipertahankan dan sekarang masih dipraktikkan.
“Contohnya, saat ini banyak sekali orang makan sambil berjalan, tidak duduk lagi. Kalau merujuk pada orang tua kita dulu, pasti kita diajarkan untuk makan sambil duduk, tidak boleh berdiri. Dan, dipandang dari segi kesehatan, memang kita harus duduk ketika makan. Kalau makan saja sambil berjalan, mana mungkin sempat berdoa juga, kan?”
Virginia juga mengamati, kebiasaan seorang ibu untuk memasak bagi anaknya mulai terlupakan. Setidaknya di perkotaan, karena alasan kepraktisan, banyak yang memilih pesan antara.