“Berdasarkan kajian Food Culture Alliance, ada fenomena sosial bahwa orang Indonesia menyukai eksplorasi rasa. Di Indonesia ultra-processed food, seperti burger dan pizza, dilabeli sebagai makanan perkotaan. Namun, seiring zaman orang yang tumbuh besar di wilayah urban ingin mencicipi makanan tradisional. Kebalikan dari masyarakat di wilayah rural yang ingin mencoba makanan urban.”
Sejalan dengan itu, Roby turut menambahkan fenomena tersebut dari contoh yang lain. Menurutnya, cara paling mudah bagi kita untuk mengenal suku lain adalah lewat makanan.
Misalnya, untuk mengenal orang Yogya, kita akan mencicipi gudeg. Apalagi, sejak kecil kita terbiasa bertemu dengan teman dari latar belakang budaya berbeda, sehingga kita ingin tahu makanan mereka.
“Di satu titik orang tetap punya involuntary memory. Misalnya, orang Manado punya memori makan di rumah saat ia kecil. Menunya ada ikan woku, sambal dabu-dabu, dan lalampa. Di tempatnya yang baru dia akan berkumpul di lingkungan yang sama, mencari memori masa kecil dia.
“Itulah kenapa orang Bugis datang ke Kelapa Gading. Soalnya, berbagai makanan khas mereka bisa ditemukan di sana. Bahkan, rumah makan yang ramai di kota asalnya pun ikut membuka cabang di Jakarta.”
Hanya saja, Roby memandang, bukan baru sekarang makanan Nusantara naik kelas. Bahkan ketika Konferensi Meja Bundar di Belanda, Indonesia sudah menyajikan makanan khas Nusantara untuk perjamuan.
“Pada tahun ’70-an hingga ‘90-an makanan cepat saji masuk ke negara kita, sehingga budaya pangan kita jadi Amerika banget. Pasca reformasi pada ’90-an ada rasa bahwa makanan Nusantara itu keren, ya.”
“Sehingga, mulai banyak resto fine dining yang menempatkan makanan Nusantara dalam kerangka merayakan makanan lokal. Itulah yang mungkin membuat orang seperti baru melihat bahwa makanan tradisional sudah masuk fine dining. Padahal, sebenarnya dari dulu sudah ada tempatnya di kelas high end,” kata Roby.
Pangan menghilang, masakan lokal lenyap
Tama berpendapat, keselarasan antara pola makan gizi seimbang dan budaya pangan lokal menjadi kunci keberlanjutan pangan. Selain mendukung diet berkelanjutan, pola makan tersebut mendukung kelestarian alam karena memutus rantai distribusi yang panjang.
“Seandainya beras tidak tersedia di Nusa Tenggara, kenapa masyarakat Nusa Tenggara harus membeli beras dari Jawa? Distribusi yang panjang akan menyumbang gas emisi rumah kaca.”