Melihat kembali ke belakang, Roby bercerita, kebiasaan makan nasi dibentuk secara politik sejak era Kerajaan Mataram. “Daripada susah-susah menanam jewawut, talas, ubi, singkong, atau gembili, isi saja lumbung dengan beras untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat.”
“Padahal, yang dimakan nenek moyang kita adalah sagu. Ketika diberi nasi, tubuhnya tidak bisa memecah insulin secepat itu,” kata Roby yang meyakini mayoritas warga Pulo Gadung tidak pernah tahu gadung itu seperti apa.
Di zaman kolonial, cerita Roby, yang mengonsumsi nasi adalah orang yang keren. Padahal, negeri kita kaya akan berbagai sumber karbohidrat lain. Tapi, orang yang makan jewawut dibilang mengambil jatah makanan burung, sementara yang makan tiwul dibilang ndeso. Virginia juga mengungkap pendapat serupa. Orang yang makan ubi atau singkong akan diberi label kampungan.
Bicara soal pangan lokal, Jaqualine menyebutkan dua sumber. Pertama, bahan pangan yang ditanam, lalu hasilnya dipanen. Kedua, bahan pangan yang sudah tersedia di alam, misalnya hutan.
“Jika ingin mencapai pola pangan sehat, harus ada keseimbangan di antara keduanya. Hasil hutan pun harus diambil dengan bertanggung jawab, jangan sampai merusak ekosistem sekitarnya. Sementara dari segi pertanian, kita bisa menerapkan agroekologi yang mendukung biodiversitas.”
“Apalagi, sumber makanan yang beragam akan membantu menambah bakteri baik dalam tubuh yang berguna dalam menjaga kesehatan,” kata Jaqualine, yang belum lama ini bersama Eathink merilis panduan gaya hidup SELARAS (Seimbang, Lokal, Alami, Beragam, Sadar).
Tantangannya, menurut Jaqualine, bagi masyarakat di luar Jawa, mi instan dan beras lebih bergengsi daripada makanan lokal mereka sendiri. Mereka akan merasa bangga, jika bisa membeli dua bahan pangan itu.
“Bukan melarang, tapi kita perlu mendorong lebih banyak konsumsi pangan lokal. Jangan hanya disantap ketika upacara adat saja, melainkan juga untuk sehari-hari.
Tentang Food Culture Alliance Indonesia
Food Culture Alliance adalah aliansi organisasi yang bekerja bersama untuk memperjuangkan peran budaya pangan dalam mempercepat transformasi pola konsumsi masyarakat.
Di Indonesia Food Culture Alliance beranggotakan Indonesia Gastronomy Network, Masak TV, Eathink, Yayasan Makanan dan Minuman indonesia, dan termasuk Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN), sekaligus sebagai host di Indonesia.