Dari 1.000 orang yang diwawancarai dalam suatu penelitian, 25 persen responden pernah menyaksikan adanya diskriminasi, pelecehan, dan bias, tetapi tidak melaporkannya dengan alasan bahwa mereka tidak yakin kalau manajemen akan bertindak segera menanggapi laporan mereka.
Bahkan, beberapa korban yang pernah mengalami pelecehan sendiri, diminta untuk move on oleh atasannya dan melupakan peristiwa tersebut. Mereka bahkan khawatir akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi bila membuat laporan sehingga akhirnya banyak yang memilih untuk diam.
Jadi, sementara pimpinan dan organisasi mengatakan, “Our speak-up culture begins today. We need your voice. We need your opinions. We need your honest feedback,” karyawan merasa tindakan speaking up ini sangat berisiko.
Memperkuat psychological safety
Mendorong karyawan untuk membuka mulut hanya akan berhasil bila respons organisasi benar-benar terlihat dan terasa. Ada beberapa sikap yang perlu dikembangkan oleh pimpinan dan bagian yang akan menangani komentar, masukan, ataupun keluhan dari para karyawan ini.
Pertama, apakah kita bisa menghargai setiap masukan tanpa peduli siapa yang berbicara?
Kita tidak bisa menilai bobot suatu masukan berdasarkan tingkatan ataupun kemampuan seorang karyawan dalam mengungkapkannya. Kita perlu menyambut pendapat seorang pegawai tingkat bawah sekalipun sama seriusnya dengan pendapat seorang pejabat tinggi dalam organisasi ketika pendapat tersebut memang berguna bagi organisasi.
Bahkan, bila pimpinan dapat menunjukkan jiwa ksatrianya ketika pendapatnya dibantah oleh anak buahnya, ia mendorong semua karyawan untuk berani berpendapat secara autentik. When people believe they’re included for who they are, without fear of reprisal for speaking up, they speak up.
Pertanyaan kedua, apakah kita bisa tetap bersikap rasional dan objektif mengevaluasi setiap masukan, bahkan yang menyerang kita sekalipun?
Kita perlu sadar bahwa mungkin saja ada masukan dari lapangan yang mengonfrontasi keputusan atau bahkan menyinggung perasaan kita. Namun, sebagai pemimpin, kita perlu menjaga komitmen untuk tetap berlaku adil dan obyektif tanpa mempermasalahkan loyalitas si pembawa berita. When loyalty and disagreement peacefully coexist, a speak-up culture can flourish.
Ketiga, apakah semua pihak sama-sama paham bahwa walaupun semua boleh mengusulkan sesuatu, tidak semua usulan disetujui. You can’t say yes to everything.