Oleh Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Semenjak kecil, kita sering diingatkan orangtua untuk bekerja keras agar dapat menikmati masa tua yang nyaman. Beragam pepatah bijak yang memotivasi untuk bekerja keras pun kerap kita temui. “Jika tidak bekerja keras ketika muda, Anda akan meratap ketika tua. Tidak ada kenyamanan masa tua bagi mereka yang malas pada usia muda.”
Di TikTok bahkan terdapat 1,8 miliar tayangan dengan tagar #sidehustles yang mengagungkan kerja keras tiada henti untuk mencapai kesuksesan. Minuman kopi digambarkan sebagai gaya hidup pekerja keras untuk menambah daya tahan menghadapi tumpukan pekerjaan dan rapat demi rapat.
Banyak contoh yang menggambarkan kesuksesan hasil kerja keras ini. Kekaguman dari lingkungan, kenyamanan hidup dengan beragam fasilitas, barang bermerek, dan kenikmatan menjadi tujuan bagi mereka yang meyakini gagasan ini. Untuk mencapai semua itu, mereka bahkan rela untuk mengorbankan aspek lain dalam hidupnya.
Di sinilah budaya ambisi untuk meraih hal yang lebih menjadi dorongan dari sekadar memenuhi kebutuhan ekonomi biasa. Budaya ini meyakinkan kita bahwa untuk sukses kita harus memacu diri bekerja lebih lama dan lebih keras.
Di beberapa organisasi, tak jarang rapat-rapat diadakan sampai melewati tengah malam demi mencapai target yang lebih tinggi lagi. Meskipun pekerjaan telah selesai, ada yang tidak berani pulang ketika atasan masih di kantor, khawatir dipandang negatif oleh atasan dan rekan kerjanya.
Namun, bagaimanakah dampak semua itu terhadap kesehatan mental dan fisik kita?
Pandemi membangunkan kita pada kesadaran bahwa bukan bekerja saja yang terpenting dalam hidup. Kita semua tergugah dengan kenyataan betapa pentingnya menjaga kesehatan, baik fisik maupun mental. Individu mulai mengevaluasi kembali keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi mereka. Orang mulai membuat prioritas.
Survei yang dilakukan Prudential pada 2022 menunjukkan, 70 persen pekerja di Amerika sudah memprioritaskan atau mempertimbangkan untuk mendahulukan kehidupan pribadi di atas pekerjaan dan karier mereka. Ada sekitar 20 persen peserta survei yang bahkan bersedia menerima pemotongan gaji demi keseimbangan hidup yang lebih baik.
Media sosial pun mulai mendengungkan isu-isu lain seperti “soft life”, tren gaya hidup yang menunjukkan seseorang memilih menjalani hidup dengan lebih santai untuk menghindari stres atau tekanan yang berlebihan serta menetapkan prioritas utama pada kebahagiaan, kesehatan mental, dan keseimbangan hidup.