Abizar Ghiffary
Inisiator Seangle Indonesia
Masalah mikroplastik rupanya tak hanya membahayakan hewan laut, tetapi juga mengancam kehidupan manusia. Abi bercerita, riset yang dilakukan Tim PKM-RE Program Studi Biologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) mengungkap, mikroplastik juga terdeteksi pada hujan di DI Yogyakarta.
Sementara itu, beberapa penelitian di Indonesia juga menemukan bahwa mikroplastik berakhir pada konsumsi manusia yang mengakibatkan timbulnya penyakit. Kontaminasi yang terus terjadi akan berdampak besar di kemudian hari.
“Kami ingin mencegah agar sampah plastik tidak menuju ke laut. Menurut kami, pendekatan masalah sampah di tiap daerah berbeda-beda. Perlu dilihat dari segi budaya dan level permasalahan. Kami sedang mencari formula tepat untuk diimplementasikan di seluruh Indonesia demi mencegah sampah plastik tidak menuju ke laut,” kata Abi, yang memandang teater forum sebagai cara kreatif untuk berdiskusi, sekaligus mendapatkan banyak perspektif.
Sebagian besar kegiatan Seangle Indonesia yang berbasis di Palu adalah penelitian. Misalnya, mengambil sampel sampah di bawah laut dan pesisir, lalu menggunakan data untuk melihat timbulan sampah di pesisir. Data tersebut dimanfaatkan untuk advokasi dan edukasi, mengajak orang terlibat langsung dalam mengatasi masalah sampah dan pelestarian lingkungan.
“Kami terjun langsung ke masyarakat, membuka semacam laboratorium mini yang dilengkapi mikroskop kecil untuk mengamati mikroplastik di sekitar mereka. Kami juga sedang fokus mengembangkan metode citizen science, yang memungkinkan warga untuk melihat sejauh mana area di sekitarnya telah terkontaminasi mikroplastik,” kata Abi, yang punya mimpi besar laut terbebas dari polusi plastik.
Sola Gratia Sihaloho
Perwakilan Tim Cegah Api, Greenpeace
Untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan, tugas Sola dan teman-temannya adalah memberikan edukasi tentang dampak buruk kebakaran hutan dan lahan. Itulah kenapa kebakaran perlu dicegah. “Namun, saat terjadi kebakaran, kami juga terjun langsung untuk melakukan pemadaman. Aksi pemadaman ini merupakan bagian dari pencegahan agar tidak terjadi kebakaran yang lebih luas,” kata Sola, yang memang diberi pembekalan dan pelatihan khusus untuk memadamkan api.
Jika tidak ada kegiatan pemadaman, Tim Cegah Api memberikan edukasi dan sosialisasi ke sekolah. Menurutnya, karena kebakaran merupakan kejadian yang terus berulang, banyak orang yang menganggapnya remeh. Mereka merasa sudah biasa berhadapan dengan asap dan tidak merasakan gangguan kesehatan.
“Saat terjadi kebakaran, sekolah diliburkan, tapi ternyata siswa malah bepergian, menghantam asap tanpa mengenakan masker. Padahal, beberapa tahun mendatang mereka bisa saja mengalami masalah kesehatan paru-paru yang serius,” kata Sola, yang melihat teater forum sebagai tempat untuk berkampanye tanpa membuat satu pihak merasa tersinggung.
Sudah dua kali Sola merasakan kebakaran hutan yang hebat, yaitu 2015 dan 2019. Namun, ia menyayangkan, tidak ada televisi nasional yang memberitakan kejadian itu, sehingga tidak ada orang di luar Kalimantan yang tahu tentang masalah tersebut.
“Kami tinggal sangat jauh dari pusat pemerintahan, sehingga suara kami sulit terdengar. Tim Cegah Api ini menjadi wadah untuk menyampaikan kepada masyarakat di luar Kalimantan bahwa di sini memang benar-benar terjadi kebakaran,” cerita Sola, yang kala itu terus melakukan pemadaman tanpa ada istirahat atau libur.