Ayu Kusuma
Anggota individu WALHI Kalimantan Tengah
Lingkungan dan hak asasi manusia rupanya tak bisa dipisahkan. Ketika bicara hutan, kita tidak hanya bicara soal pohon dan satwa saja, melainkan juga masyarakat, terutama yang hidup dari hutan dan beraktivitas di sekitarnya. “Ketika mengkonservasi hutan dan orangutan yang hidup di dalamnya, namun memutus akses masyarakat yang sudah lama beraktivitas di situ, berarti kita melanggar hak asasi manusia.”
Karena itu, bersama WALHI, Ayu dan teman-temannya memastikan lingkungan terlindungi dan terpulihkan, sekaligus memastikan hak asasi manusia yang terlanggar akibat rusaknya lingkungan juga terpulihkan. Karena, ketika suatu lingkungan rusak, manusia juga ikut menderita. Dampaknya tidak terbatas pada masyarakat sekitar yang selama ini mengelola lingkungan tersebut.
Kegiatan WALHI lebih banyak pada pemberdayaan melalui pelatihan formal dan diskusi agar masyarakat memahami haknya.
“Mereka harus tahu bahwa mereka mempunyai hak atas lingkungan, hak atas pengelolaan sumber daya alam, juga memahami hak-hak perempuan, hak-hak masyarakat adat. Ketika mereka sudah paham haknya dan fasih melafalkan, mereka akan berani maju berjuang untuk menuntut haknya,” kata Ayu, yang memandang teater forum sebagai bentuk diskusi berbeda, mengingat ia lebih banyak menggunakan kata dalam kesehariannya.
Sementara itu, Ayu yang sedang berkuliah di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera bercerita bahwa lembaga tempatnya menuntut ilmu itu menyediakan ruang untuk belajar hukum dengan perspektif baru.
“Saya belajar bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya sumber hukum yang pasti benar. Kami diajak untuk bersikap kritis, saat melihat hukum dan kebijakan. Karena, kebijakan itu lahir dari suatu proses politik dengan berbagai kepentingan yang berkompetisi, sehingga sering kali kebijakan justru tak selalu bijak,” katanya.
Novan Aji Imron
Advokasi dan Pengembangan Kebijakan, Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)
Isu hutan terus berkembang. “Semua sepakat, hutan dan perubahan iklim merupakan isu yang penting. Dan, itu berarti kita juga bicara tentang inter generasi dan pentingnya keterlibatan anak muda. Inilah mengapa kami kemudian mengadakan sekolah sosial forestri dengan mengumpulkan anak muda baik yang tinggal di kawasan hutan maupun di kota,” kata Novan.
Dalam kelas, mereka diberi ruang untuk berdiskusi terkait permasalahan di hutan dan masyarakatnya selama kurang lebih tiga bulan. Hal ini membuat mereka tahu berbagai permasalahan di hutan sehingga mendorong mereka untuk peduli dan bergerak menjaga hutan. Hingga kemudian mereka terdorong untuk menciptakan inovasi.
Novan bercerita, inovasinya bebas, tergantung pada keahlian masing-masing. Inovasi itu diharapkan bisa diterapkan di lingkungan mereka masing-masing atau menjadi platform yang umum.
“Orang muda di perkotaan mungkin tidak merasa terkait dengan hutan. Tapi, kami beri jembatan cerita bahwa yang paling merasakan perubahan iklim justru orang kota, misalnya merasakan panas dan sulit mendapat air bersih. Barulah kita masuk dengan cerita pentingnya hutan bukan hanya bagi orang desa, melainkan juga bagi orang kota. Ketika mereka diberi pemantik sedikit saja, hasilnya sangat powerful. Ada yang melontarkan inisiatif tentang sekolah alam, ada juga inisiatif game tentang hutan,” kata Novan, yang memandang bahwa teater forum membuka kesempatan yang luas untuk berdiskusi dengan orang-orang di luar lingkarannya.