Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Ungkapan mens sana in corpore sano adalah ungkapan klasik yang sudah lama kita kenal; dalam raga yang sehat terdapat jiwa yang sehat.
Namun, dalam dunia pekerjaan seringkali fisik dan jiwa yang sehat diletakkan sebagai prioritas yang lebih rendah ketimbang pekerjaan itu sendiri.
Tidak heran bila kita melihat, usia kematian semakin lama semakin muda dan banyak sekali orang yang mengalami serangan jantung pada usia muda. Dipacu oleh kesadaran harus menjaga kesehatan dalam pandemi ini, ditambah dengan ketegangan karena keharusan di rumah saja, sekarang ini banyak yang menyadari, mereka pun perlu menggarap kesehatan mentalnya.
Isu well-being tiba-tiba menjadi pembahasan penting, baik di perusahaan-perusahaan raksasa, maupun start-ups yang terdiri dari anak anak muda di bawah 30 tahun.
Well-being adalah perasaan lega dan bahagia mengenai situasi diri sendiri. Sebenarnya hal ini menyangkut banyak aspek dalam kehidupan individu: kondisi rumah tangga, hubungan dengan orang lain, pekerjaan dan aktivitas lainnya.
Dalam pekerjaan, well-being sering dikaitkan dengan kesehatan dan keamanan. Saat ini, terminologi well-being sudah digunakan secara meluas, mencakup bagaimana setiap karyawan bisa mencapai tingkat kesehatan mental maupun fisik yang optimal, juga kebahagiaan pribadi dan kepuasan kerja.
Pada perusahaan-perusahaan besar yang modern, pendekatan well-being dilakukan secara holistik dengan memasukkan gaya hidup ke dalamnya, seperti bersepeda ke kantor atau membuat gerakan tidak merokok. Strategi inipun sebenarnya tidak cukup.
Hasil penelitian Gallup menyatakan, 76 persen karyawan yang mengalami burn out dilatarbelakangi oleh salah manajemen, beban kerja yang berlebihan, atau perlakuan tidak adil dalam pekerjaan.
Konsep well-being yang holistik
Setelah kita menyadari pentingnya well-being karyawan dan mengupayakannya dalam organisasi, kita perlu mempertanyakan apakah karyawan merasa bahagia, engaged, lega dan puas?
Semua keadaan ini berhubungan satu sama lain sehingga karenanya perlu ditinjau satu per satu. Ada karyawan yang bahagia tetapi tidak engaged. Ada karyawan yang kelelahan karena beban kerja yang terlalu berat, sehingga tidak bisa menikmati program well-being yang disediakan perusahaannya.
Sebuah perusahaan marketplace yang terkenal dan hampir menjangkau posisi decacorn memiliki program-program well-being yang canggih dan mewah. Namun, ternyata turnover tetap tinggi karena para karyawan merasa kelelahan dengan jam kerja yang sangat panjang, bahkan hampir tidak mengenal istirahat.
Hal ini berarti program well-being yang dibuat perusahaan tidak bisa mengompensasi beban kerja, dan akibatnya kelegaan dan happiness di tempat kerja pun tidak tercapai.
Program well-being memang harus menciptakan keseimbangan mental sehingga individu dapat mengembangkan potensinya, menjadi lebih kreatif, dapat membina hubungan lebih baik dengan orang lain, lebih terampil menanggulangi stres, dan pada akhirnya lebih produktif menciptakan kontribusi yang berarti.
3 komponen employee well-being
Di samping pengaturan beban kerja dan penugasan karyawan, Prowell, pencipta metodologi pengukuran well-being, menggolongkan well-being ini dalam 3 kategori besar: mental, fisik, dan sosial.
Mental terdiri dari kognitif dan emosional. Sementara fisik, mempertimbangkan kebugaran, kenyamanan, gizi, dan lingkungan. Pada aspek sosial, belongingness dan kasih sayanglah yang perlu diperhatikan.
Dalam krisis pandemi ini, kita memang merasakan semua aspek well-being bisa terpengaruh, terutama aspek ancaman kesehatan fisik.
Untuk itu program komunikasi mengenai kesehatan sangat penting. Bekerja jarak jauh juga memengaruhi produktivitas. Ketegangan antara berkontribusi tidaknya kita, dapat memengaruhi suasana kerja dan berdampak pada kesehatan mental dan sosial.
Meluncurkan program well-being
Biasanya program well-being dijalankan oleh divisi sumber daya manusia dalam organisasi. Pertanyaannya, apakah gerakan ini mendapatkan dukungan penuh dari manajemen puncak? Apakah menajemen puncak bertindak sebagai role model dalam menghadapi krisis ini?
Para pemimpin tentunya perlu memiliki gambaran yang jelas mengenai keadaan di seluruh organisasi.
Kita pun harus rajin melakukan evaluasi baik berbentuk kualitatif atau kuantitatif. Kondisi mental dan emosional karyawan bisa berubah sewaktu-waktu dan hal ini perlu cepat dideteksi oleh pengelola program.
Kita bisa membuat survei sederhana yang mempertanyakan, apakah para karyawan melihat perusahaan serius dalam mengelola program well-being ini, apakah karyawan sendiri juga merasa program ini penting, serta apakah mereka merasa didukung oleh program ini.
Umpan balik karyawan tidak pernah boleh disepelekan. Manajemen bahkan perlu menciptakan program berdasarkan masukan karyawan.
Sasaran program perlu digariskan dengan jelas, realistis, dan jujur. Bila di kemudian hari ternyata tidak terpenuhi maka kitapun harus sigap mengubahnya. Sasaran seperti meningkatkan moral karyawan, retensi, produktivitas, mengurangi absen, serta menggalakkan hubungan antar karyawan yang lebih baik harus digambarkan secara gamblang.
Setiap perusahaan dapat secara spesifik menentukan bagaimana mereka akan membuat program well-being sesuai kebutuhan perusahaan.
Asana, sebuah perusahaan software yang bekerja tidak mengenal waktu, menyediakan nap rooms, tempat karyawannya bisa mendapatkan power naps bila rasa kantuk menyerang.
Nike perusahaan alat dan pakaian olah raga, tentu saja mengutamakan kebugaran di organisasinya. Mereka melengkapi kantornya dengan kolam renang berukuran olympic lengkap dengan berbagai alat kebugaran.
Banyak perusahaan yang mewajibkan medical check up rutin bagi karyawannya. Microsoft mendorong dan memberikan modal bagi karyawannya untuk peduli pada lingkungan sekitar dalam program doing amazing things. Hal-hal seperti inilah yang dapat membuat karyawan merasa bahagia, engaged dan tentunya produktif.
EXPERD – HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 13 Maret 2021