Oleh Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Ketika ada karyawan yang mengundurkan diri, divisi SDM biasanya akan melepas mereka sambil bincang-bincang singkat yang disebut exit interview. Tujuannya, menggali informasi mengenai alasan mereka mundur, kesan mereka selama menjadi karyawan, dan masukan-masukan yang bisa dilakukan sebagai perbaikan oleh organisasi.
Menarik bila kita melihat informasi yang bisa digali dari exit interview tersebut. Situasi ketika karyawan sudah tidak memiliki kepentingan lagi di dalam organisasi, biasanya akan memunculkan masukan yang lebih jujur.
Namun, apakah informasi yang didapatkan dari bincang-bincang tersebut ditindaklanjuti secara serius? Bagaimana divisi SDM dan pimpinan menyikapi komentar dan masukan dari “calon eks karyawan” yang mungkin membuat kuping tipis ini?
Bisa jadi masukan mereka terkait perlakuan tidak adil yang dirasakan selama menjadi karyawan, pimpinan yang sering bersikap kasar kepada anak buah, benefit dan tunjangan kesejahteraan yang tidak pernah berubah selama bertahun-tahun, serta program pengembangan SDM yang dinilai melempem.
Selain itu, jangan-jangan malah kita melakukan kill the messanger, alih-alih berusaha melakukan pembenahan. Kita justru menghukum mereka yang menyampaikan informasi yang tidak enak didengar ini dengan mencari-cari kesalahannya. Padahal, brutal facts atau fakta-fakta keburukan inilah yang perlu dikejar oleh para pemimpin bila ia ingin mengembangkan organisasinya.
Selain mendengarkan dan menerima dengan terbuka fakta-fakta keburukan yang disajikan oleh teman-teman di organisasi, dalam situasi yang tidak ideal, pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan fakta-fakta keburukan kepada anak buahnya.
Agar anak buah bisa mendapat gambaran nyata mengenai situasi saat ini dan dampak yang mungkin terjadi pada masa mendatang. Apalagi pada masa yang ditandai serba ketidakpastian seperti saat ini.
Sayangnya, dari beberapa studi, rata-rata hanya kurang dari 20 persen pimpinan yang dapat menyatakan realitas ini dengan gamblang. Ini bisa saja disebabkan si pemimpin sendiri khawatir tidak kuat menahan ketegangan ataupun mereka juga bersikap defensif.
Menyikapi fakta dan realitas
Dalam buku Good to Great, Jim Collins menuliskan bahwa salah satu kunci dari kesuksesan organisasi adalah memiliki komunikasi yang terbuka. Dalam era yang serba tidak pasti dan volatile seperti ini, pemimpin memang tidak bisa lagi bersikap alergi terhadap fakta, seburuk apapun itu. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemimpin.
Dimulai dari menggunakan pertanyaan dalam berkomunikasi untuk mendorong terjadinya diskusi. Pertanyaan-pertanyaan terbuka menunjukkan kesediaan pemimpin untuk mendengar pendapat, pemikiran, dan kekhawatiran anak buahnya. Keterampilan melakukan “penyelidikan” (probing) juga perlu dipertajam guna menghindari asumsi yang membawa pada kesalahpahaman.