MASYARAKAT
Rakyat menggoreng minyak goreng dengan antrian panjang di tempat-tempat pembagian minyak goreng murah pada awal harga naik dua kali. Selain itu, seiring dengan harga minyak goreng tidak bisa turun selama lima bulan karena harga CPO di luar negeri dan pemerintah tidak mampu mengendalikan ketersediaan CPO di dalam negeri dan migor domestik.
Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat pesimis menghadapi harga minyak goreng selama Ramadhan. Implikasinya, kinerja pemerintah di mata masyarakat tidak bersahabat dan memberikan penilaian tidak puas seperti dilaporkan lembaga suvei.
Untuk itu, pemerintah memberikan bantuan langsung tunai sebesar Rp 100.000 per bulan selama tiga bulan April, Mei, Juni. Selain itu, pemerintah menetapkan bea ekspor minyak kelapa sawit sebagai pemasukan negara dan mungkin pengendalian tidak langsung minyak sawit.
Timbul pertanyaan, mengapa pemerintah begitu perhatian terhadap masyarakat di saat migor naik tinggi? Sebuah survei melaporkan bahwa gorengan di bulan Ramadhan dibutuhkan masyarakat, terutama pedagang gorengan yang menjadikan gorengan sebagai pendapatan harian rumah tangga dan masyarakat umumnya untuk berbuka puasa.
Menurut data (2019), gorengan dikonsumsi setiap hari sebanyak 43,3 persen. Gorengan dikonsumsi beberapa kali dalam seminggu 28 persen. Gorengan dikonsumsi masyarakat beberapa kali pada bulan Ramadhan 18,4 persen, tidak makan gorengan 6 persen.
Survei ini dilakukan di wilayah Jabodetabek. Berdasarkan data ditunjukkan hampir lima puluh persen masyarakat Jabodetabek menyukai gorengan pada Ramadhan setiap hari.
Jenis gorengan apa sering disiapkan masyarakat? Gorengan tahu isi paling disukai (32,5 persen), disusul bakwan 17,5 persen, tempe mendoan 17,1 persen, risol 13 persen, pastel 4,3 persen, pisang goreng 4,3 persen, lumpia 1,5 persen. Dengan demikian tiga macam gorengan paling disukai masyarakat, yaitu gorengan tahu isi, bakwan goreng, dan tempe mendoan. (*)