Oleh Leila S. Chudori
Kami bertiga asyik menikmati pesanan kami di kafe di bawah Gramedia Emerald: Gustin Suradji, Hilman Hariwijaya dan saya sambil bergurau. Itu tahun 2019. Seperti halnya orang lain, kami tak tahu bahwa setahun kemudian, kami akan sulit bertemu dan berbincang dengan bebas secara rutin seperti sediakala karena gempuran pandemi.
Saya ingat hari itu Gustin dan saya meledek Hilman yang setiap 10 menit membaca whasapp dari produsernya soal rating sinetronnya. “Pak Produser separation anxiety tuh, Man…,” kata saya yang langsung ditimpali Gustin dengan ledekan bahwa Hilman pasti lebih sering mimpi tentang tokoh-tokoh ciptaannya
Pagi ini, saya kemudian merasakan kembali: betapa kejinya waktu. Gustin sudah berpulang Juli tahun lalu. Lalu disusul Gusur Adhikarya. Lalu pagi ini: Hilman pergi. Kami semua adalah ‘alumni majalah Hai’, yang di tahun 1980-an mondar-mandir ke Palmerah lantai 3 untuk bersama-sama Arswendo Atmowiloto menciptakan Koma (Koran Remaja) dan tentu saja mengisi majalah Hai dengan cerita pendek dan cerita bersambung kami. Tentu saja ada nama-nama lain seperti Nony Lukito, Gola Gong, AGS Aryadipayana (alm).
Hubungan saya dengan Hilman lebih seperti adik kakak, karena saya dua tahun lebih tua daripadanya, dan sejak dulu dia memanggil saya “mbak”. Beberapa kali dia mampir ke rumah saya di Tanah Abang 2 hanya untuk mengecek koleksi buku-buku saya, mencatat dan berbincang dengan saya mengapa buku A lebih bagus daripada buku B.
Kami saling bertukar kaset (iya, jaman itu masih kaset, guys), dan saya sering meledek “lu bolak balik Queen dan Duran Duran melulu, sampe jambul lu semakin lama semakin tinggi tiap ke sini,” kata saya sambil memain-mainkan jambulnya yang legendaris itu dan menjadi trademark tokoh Lupus –serial novel Hilman–yang di tahun 1980-an menjadi pegangan setiap remaja Indonesia.
Hilman adalah seorang kawan yang lembut, pendiam dan cenderung menghindar pertikaian. Di masa saya kuliah di Kanada, hubungan kami sempat tak terawat karena jarak yang jauh dan kami sudah bergaul dengan kawan-kawan baru. Kami terhubung kembali karena sama-sama berproduksi di PH SinemArt.
Saya mah cuma terlibat satu judul 14 episode saja berjudul “Dunia Tanpa Koma” sudah bikin terengah-engah, sementara Hilman dengan banyak judul selalu rating 1 (dan kalau sampai rating turun, dia langsung keringat dingin), saking banyak judulnya, saya sungguh lupa (maafkan, my dear friend). Sejak ‘reconnection’ inilah saya bertemu lagi dengan Gustin dan Gusur, dan dari waktu ke waktu kami makan siang sambil bergurau mengenang masa muda.
Hilman versi dewasa tetap pendiam, banyak tawa, meski sesekali dia terbuka dengan rasa cemasnya dalam hidupnya. Gustin dan saya biasanya mendengarkan dengan setia dan mencoba menenangkan dia. Yang saya tetap kagum padanya, Hilman tetap percaya pada cinta, pada hubungan, kepada kebaikan manusia, sementara saya adalah orang yang lebih nyaman untuk menjaga jarak karena saya sulit percaya pada ketulusan. Maka masa ‘reconnection’ perkawanan kami, saya belajar perlahan-lahan dari Hilman bahwa masih ada sincerety, ketulusan dalam hidup.
Juli 2019 Mas Arswendo Atmowiloto wafat. Saya langsung mengajak Hilman dan Gusur untuk berbincang di podcast kami, karena Arswendo adalah salah satu guru kami dan pendiri majalah Hai. “Harus sama Gusur ya mbak, aku gak bisa ngomong,” dia mengulang pesannya. Kami bertiga berbincang di dalam podcast “In Memoriam Arswendo” yang isinya penuh dengan kenangan masa remaja.