Dahlan Iskan pernah ditanya, siapakah mentornya. Ia langsung menyebutkan salah seorang tokoh di media dan menceritakan apa saja yang ia pelajari dari tokoh tersebut. Ia menceritakan bagaimana tokoh itu menjadi role model dalam karirenya. Ini bisa dikatakan adalah hubungan mentor-mentee yang sukses dan menunjukkan hasilnya.
Banyak organisasi sangat menyadari bahwa proses pengembangan keterampilan kepemimpinan tidak cukup bila dijalani oleh individu tanpa bimbingan dari para seniornya. Namun, tentunya senior yang ditunjuk juga harus memiliki keterampilan yang mumpuni untuk dapat membimbing juniornya tersebut mencapai tujuan yang ditetapkan.
Inilah sebabnya program coaching dan mentoring ini ramai digalakkan di organisasi. Namun, kita juga melihat seringkali program ini dikalahkan dengan kesibukkan operasional sehari-hari. Padahal, momen mentoring adalah momen yang dapat dinikmati baik oleh mentor maupun mentee, mungkin sampai seumur hidupnya.
Sebuah perusahaan konsultan ternama mengembangkan program mentor mentee ini dengan memberikan fasilitas makan siang sebulan sekali kepada para eksekutif beserta dengan mentornya ini. Pembicaraan tidak dipantau, tidak juga ada daftar isian yang harus dilengkapi.
Namun, hasilnya sungguh mengagumkan. Para eksekutif tidak pernah lupa pada mentornya, apa pesan-pesannya. Beberapa prinsip hidup dan bekerja para mentor pun mereka jadikan sebagai pegangan. Bila hubungan mentor mentee ini bisa demikian indah dan bermanfaat, mengapa kita sering merasa bahwa program ini sangat sulit diimplementasikan?
Banyak orang mengharapkan hasil nyata yang kasat mata dari hubungan mentor mentee ini. Padahal, hasil yang didapatkan sering tidak teraga, hanya bisa dihayati oleh baik mentor dan mentee yang bersangkutan.
Mentorship bukanlah program pelatihan, ia tidak secara khusus mengajarkan keterampilan tertentu. Keluaran dari mentorship adalah hubungan yang berkualitas antara dua orang yang berbeda pengalaman dan keahliannya. Hasil saling berbagi dalam hubungan tersebutlah yang akan dirasakan oleh mentee dan bisa jadi juga mentornya.
Mentorship berjalan penuh empati sehingga hambatan-hambatan komunikasi sudah terdobrak menjadi komunikasi terbuka dan saling menambah wawasan. Yang senior semakin mengerti mengenai kehidupan kerja para yunior, sebaliknya si yunior mendapatkan wawasan mengenai nilai dan perspektif yang sarat dengan pengalaman hidup.
Namun, yang sering terjadi dan menjadi penyebab tidak mulusnya mentorship adalah masih kentalnya power imbalance sehingga tidak terasa adanya mutual benefit di antara mentor dan mentee.
Dengan demikian, mentee mudah “merasa kecil” dan hanya merunduk-runduk kepada senior yang sudah berpengalaman. Sementara mentor merasa mentee-lah yang lebih membutuhkannya sehingga ia terasa “angin-anginan” saja dalam menyediakan waktunya. Biasanya dalam hubungan seperti ini, aliran empati pun tidak akan terasa tulus.