Oleh Suryo Winarno
Penurunan emisi karbon bukan lagi opsi tapi mesti direalisasi pihak industri. Karena penurunan emisi karbon merupakan perwujudan mitigasi perubahan iklim dan respon terhadap kebutuhan pasar dunia demi keberlanjutan hidup umat manusia. Maka pengelola industri mesti merubah visi membangun industri.
Institut for Essensiil Services Reform (IESR) melaporkan telah terjadi perubahan pasar di dunia usaha dikaitkan dengan perubahan iklim. Penggunaan sumber energi bersih menjadi persyaratan pasar global.
Tapi di pasar domestik belum menjadi persyaratan ketat karena faktor teknologi tertinggal, regulasi belum kuat sehingga dunia usaha bisa bernegoisasi, harga energi bersih mahal, dan pendapatan rendah Indonesia.
Dalam upaya mencegah kenaikan emisi, Uni Eropa telah menerapkan pajak emisi karbon dari tertinggi hingga terendah. Pajak karbon tinggi berada di Swedia USD 137 /ton CO2, dikuti Swizerland USD 101/ton CO2, Amerika Serikat USD 20/ton CO2 (belanja Presiden Biden tahun 2021).
Sementara pajak emisi karbon rendah di Polandia USD 0,017/ton CO2 dan Estonia USD 2/ton CO2. Di Asia pajak karbon juga rendah, misalnya di Beijing USD 4/ton C02, Shanghai USD 6/ton CO2, Singapura USD 4/ton CO2, dan Indonesia USD 2/ton CO2.
Berkaca dari realita perdagangan karbon dunia ditunjukkan bahwa standar pasar karbon global sangat lebar. Hal ini disebabkan subyektifitas setiap negara melihat resiko perubahan iklim dan berkaitan kemampuan negara menciptakan teknologi energi bersih.
Misalnya, negara miskin teknologi bersih di Uni Eropa memberlakukan pajak karbon rendah. Sebaliknya, negara maju dalam teknologi bersih menerapkan pajak karbon tinggi. Akhirnya, standar pasar karbon dunia tidak dapat diberlakukan antar negara.
INDONESIA
Di Indonesia sektor keuangan tidak memberikan dukungan terhadap usaha menghasilkan emisi gas rumah kaca. Lembaga keuangan berkurang memberi pinjaman untuk usaha berkontribusi pada energi kotor di udara. Industri wajib memiliki Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) untuk dapat diberikan pinjaman dana ekspansi dan renovasi korporasi.
Delapan bank besar di Indonesia mesti mengikuti Peraturan OJK No.051 Tahun 2017 tentang Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik untuk menerapkan keuangan berkelanjutan disertai laporan pelaksanaan setiap akhir tahun.
Dalam riset IESR, dunia usaha sepakat bahwa isi perjanjian Paris 2015 untuk menahan suhu bumi tidak melewati 1,5 derajad Celsius harus diwujudkan. Dunia usaha memiliki target penurunan emisi. Namun ada masalah dalam merealisasi.
Berdasarkan riset, 30 perusahaan telah berkomitmen menurunkan emisi karbon. Namun dalam realisasi hanya 6 (enam) korporasi mempunyai target menurunkan emisi karbon. Bagaimana profil perusahaan Indonesia dikaitkan dengan penerapan industri hijau di Indonesia?
Mungkin informasi ini memilukan masyarakat. Karena puluhan ribu industri di Indonesia, hanya ratusan perusahaan menerapkan industri hijau dalam setiap operasi.
Hal ini disebabkan beaya operasi dianggap mahal, membebani beaya produksi, regulasi tidak kuat sehingga bisa negosiasi dalam hal tertentu, sanksi melanggar lingkungan belum kuat, dan pemerintah belum ketat menjalankan hukum lingkungan.
INDUSTRI HIJAU
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2018), konsumsi akhir energi lima sektor ekonomi terbesar adalah transportasi (41%), industri (36%), rumah tangga (16%), komersiil (4,5%), dan sektor lainnya (1,5%).
Sumber energi sektor transportasi berasal dari bahan bakar minyak, sedangkan sumber energi sektor industri berasal dari batubara, gas, dan minyak. Sehingga tidak mengherankan emisi karbon transportasi lebih rendah dibanding industri.
Berdasarkan data emisi karbon tahun 2019 disumbangkan sektor ekonomi industri 37%, transportasi 27%, energi 27%, kontruksi 4%, rumah tangga 1%, dan sektor lainnya 4%. Dengan demikian tidak mengejutkan sektor industri diminta melakukan efisiensi energi karena emisi karbon paling tinggi.
Badan Pusat Statistik (2019) melaporkan jumlah industri klasifikasi besar dan sedang sebanyak 34.000 perusahaan. Industri yang mendaftar untuk penghargaan Industri Hijau di Kementerian Perindustrian Republik Indonesia tidak lebih dari 990 unit perusahaan (3%) selama periode 2010-2019. Artinya, kemitmen industri Indonesia menerapkan ekonomi hijau sangat rendah.
Padahal usaha yang menerapkan industri hijau menghemat kebutuhan energi sebesar Rp 3,5 triliun berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2019. Pada periode yang sama sumber daya alam (air) bisa dihemat setara dengan
Rp 228,9 miliar.
Selain itu, penerapan industri hijau menurunkan emisi karbon 226,62 juta ton CO2 pada tahun 2017, 222,6 juta ton CO2 pada tahun 2018, 218,69 juta CO2 pada tahun 2019, dan 165,61 juta ton CO2 pada tahun 2020.
Sekarang kembali pada dunia usaha Indonesia, apakah mau melanjutkan usaha atau tutup. Karena pasar dunia telah mensyaratkan ramah lingkungan bagi setiap dunia usaha.
Yang terbaik industri Indonesia segera berbenah diri sehingga dapat melanjutkan usaha, untuk dapat berjualan di pasar internasional dan dalam negeri. Semoga!
Suryo Winarno, Praktisi Lingkungan dan Kesehatan Kerja di Industri Makanan dan Minuman