Meski berusaha untuk menjadi lebih baik, perfeksionisme kerap melampaui batas. Yang sering terlupakan, perfeksionisme sebenarnya berakar pada ketakutan—takut gagal, takut dikritik, dan takut tidak cukup baik.
Di dalam kehidupan sehari-hari, orang sering melihat perfeksionisme sebagai hal yang walaupun disegani tetapi tetap positif. Beda antara perfeksionisme ekstrem yang mengaburkan dampak negatif dengan positif. Bila reputasi dalam kehidupan sosial memang perfeksionis, sebaiknya kita mewaspadai gejala seperti yang diungkapkan para psikolog.
Para perfeksionis perlu waspada ketika mereka menyadari sering mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan, khawatir membuat pilihan yang salah. Bahkan, keputusan sederhana, seperti memilih menu apa di restoran. Bagi perfeksionis ekstrem ini, jika sesuatu tidak sempurna, itu tidak berguna.
Mereka cenderung melihat segala sesuatu secara hitam-putih tanpa ada ruang kompromi. Sepintar-pintarnya individu, ada perfeksionis yang sering mencari validasi dari orang lain secara berlebihan dan berulang ulang karena membutuhkan jaminan bahwa pekerjaan atau keputusan mereka sudah benar.
Itu sebabnya, “timeline” pun sering menjadi terulur. Ada juga kebiasaan para perfeksionis ekstrem ini yang berlebihan. Mereka sering kali bekerja terlalu keras, merasa harus memberi 110 persen untuk setiap hal yang mereka lakukan. Bahkan kalau perlu mengorbankan kesehatan atau kehidupan pribadi mereka.
Perfeksionisme sebagai tekanan mental
Orangtua perfeksionis selalu mendorong anaknya mendapat nilai sempurna dan unggul dalam olahraga. Meskipun niatnya memotivasi sang anak, yang terjadi justru sebaliknya. Anaknya merasa selalu dihakimi dan dikritik sehingga hubungan mereka menjadi tegang.
Salah satu bahaya terbesar dari perfeksionisme adalah burnout atau kelelahan mental dan fisik. Para perfeksionis kerap bekerja tanpa henti karena takut gagal, mengabaikan waktu istirahat, dan mengorbankan kesejahteraan pribadi mereka sendiri.
Lucunya, walaupun terkesan pekerja keras, banyak perfeksionis menunda untuk memulai tugasnya karena takut tidak bisa menyelesaikannya dengan sempurna. Ini menjadi lingkaran setan—menunda pekerjaan hanya menambah tekanan, yang pada akhirnya membuat pekerjaan dilakukan terburu-buru atau bahkan terlewat tenggat waktunya.
The art of good enough
Apakah seorang perfeksionis bisa berubah? Kabar baiknya, sepanjang kesadarannya ditingkatkan dan pola pikirnya berubah, ia bisa mengubah situasi menjadi lebih kondusif.