Hal paling utama yang harus tertanam dalam mindset seorang pebisnis adalah menjadi problem solver atau solution maker – yang juga menjadi ciri khas digital start-up. Dengan terlatih memberikan solusi, ia akan terpacu untuk menjadi lebih kreatif dan inovatif yang merupakan karakter pengusaha. Pun dalam jiwa seorang sociopreneur.
Demikian benang merah sociopreneur discussion series ke-4 yang dihelat pada Senin (25/4), dengan menghadirkan bintang tamu Peter Shearer, CEO dan Founder Wahyoo, sebuah start-up social enterprise yang berkembang sejak 2017.
Seperti biasa, diskusi virtual tersebut dipandu oleh Nadia Hasna Humaira, seorang penggagas sociopreneur sekaligus brand ambassador Padusi.id, media digital yang mengangkat tema seputar perempuan muda, modern dan dinamis yang kontennya juga layak diikuti para perempuan, dan tentu saja pria sebagai mitra perempuan.
Dalam acara itu tercatat kesertaan sejumlah entrepreuner muda dari berbagai kawasan Indonesia, serta komunitas masyarakat ekonomi kreatif wilayah Bogor daerah asal Nadia. Tak ketinggalan sejumlah anggota Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Malaysia, tempat Nadia menempuh strata pendidikan terakhirnya.
Akan halnya wahyoo.com adalah perusahaan start–up lokal yang fokus membantu warung makan tradisional untuk meningkatkan daya saingnya melalui pendampingan usaha berkelanjutan. Layanan yang disediakan platform ini meliputi kemudahan berbelanja, layanan teknologi pendukung, pelatihan wirausaha, kegiatan komunitas, dan renovasi warung.
Sebagai seorang pelaku sociopreneurship, Peter mengaku karakter solution maker adalah tuntutan yang harus ia hadapi saat memberikan pendampingan kepada para mitra Wahyoo. Namun justru dengan terbiasanya mencari solusi, mereka terpacu menjadi lebih kreatif dan inovatif yang semakin memperkuat karakter dan jiwa pengusaha mereka.
“Kita harus melihat setiap masalah untuk dihadapi, bukan dihindari. Inilah yang membentuk jiwa pengusaha kita,” tegasnya.
Nadia yang saat ini aktif mewadahi gairah para entrepreneur muda dalam merintis usaha berbasis sosial mendukung pernyataan Peter. Menurutnya, saat seseorang membangun bisnis, pada dasarnya ia sedang membangun orang dan kemudian orang tersebut membangun bisnis. Ia juga menyatakan keyakinannya bahwa pada dasarnya sifat dasar manusia adalah saling menjaga.
“Saya sangat setuju dengan pernyataan Richard Branson bahwa jika Anda tidak membuat perbedaan dalam kehidupan orang lain, maka Anda tidak boleh berbisnis,” ujarnya menyitir ketegasan sang legenda bisnis yang banyak menjadi inspirator pebisnis dunia.
Senada dengan keyakinan Nadia, Peter mengaku sudah merasakan masa tidak pernah mencapai titik puas saat bisnisnya hanya fokus hanya pada tujuan pribadi. Namun begitu pikirannya terbuka bahwa bisnis harus memberi dampak baik kepada orang lain, hanya dengan sharing yang sederhana saja, ia merasa mendapatkan kepuasan tak terhingga.
“Ada perasaaan lebih dari sekadar uang, rasa puas yang tak terhingga. Jadi uang tidak lagi menjadi tujuan akhir, tapi sebagai alat agar dapat menciptakan dampak sosial yang lebih besar,” ujarnya menceritakan perasaannya ketika Wahyoo berhasil memberangkatkan umroh mitra bisnisnya atau saat mereka memberikan beasiswa kepada pemilik warung keluarga besar Wahyoo.
Secara teori, Peter sudah membuktikan rekomendasi sebuah riset, bahwa bisnis yang memiliki tujuan baik akan lebih mudah mendapatkan customer. Termasuk hasil riset lain yang menyatakan bahwa karyawan pada perusahaan yang memliki dampak sosial baik, akan lebih bersemangat dan memiliki motivasi lebih tinggi dalam berkarya. Karena itu tidak heran, perusahaan berkarakter sociopreneurship biasanya lebih mudah mendapatkan karyawan terbaik.
Dan dengan dukungan customer serta karyawan secara internal, tidak heran jika perusahaan dengan karakter tersebut bisa berputar lebih cepat dibanding kompetitornya. “Karena itu, kalau mau bisnis, buatlah bisnis yang bertujuan untuk memberikan dampak positif kepada banyak orang,” tegasnya diamini Nadia.
Pilihan Warteg, Penggerak Ekonomi Mikro
Menceritakan pilihannya untuk membantu keberadaan warung-warung makan tradisional yang begitu akrab dengan keseharian masyarakat kebanyakan, Peter berpendapat warteg dan sejenisnya, harus diakui, punya peran penting dalam menggerakkan perekonomian Indonesia di sektor mikro.
Ia mengakui, tidak mudah mengubah kebiasaan manual dari para pemilik warung tradisional pada budaya digital. Namun dengan prinsip teknologi hadir untuk membantu memudahkan dan mengefisienkan pekerjaan manusia, Wahyoo saat ini terbukti berhasil merangkul lebih dari 16.000 warung makan di kawasan Jabodetabek.
Menurut Pieter, keberhasilan itu tidak lepas dari keberhasilan Wahyoo dalam memberikan beberapa manfaat nyata kepada para mitra. Selain mendatangkan customer lebih banyak secara daring, fitur Wahyoo juga memungkinkan mereka mendapatkan bahan baku hasil pertanian dan sembako berkualitas dari brand mitra Wahyoo yang lain.
Cukup pesan melalui aplikasi Wahyoo, bahan-bahan makanan dan sayuran yang mereka butuhkan sudah diantar sampai di depan warung. Tidak perlu ke pasar tiap pagi, tidak perlu naik motor dan tidak perlu repot tawar-menawar. Aplikasi ini dihadirkan setelah Wahyoo mendapatkan masukan dari pelanggan.
“Dan dari sisi bisnis, layanan ini sekarang malah berkembang menjadi salah satu backbone bisnis kami. Karena itu, jangan segan-segan ngobrol dengan customer untuk mencari masukan, kalau jeli kita akan mendapatkan berbagai opportunity dari sana,” lanjutnya.
Pada dasarnya, jelas Peter, pengusaha memang harus memliki mindset seperti dokter yang melakukan diagnosa untuk mencari tahu apa penyakit/problem yang diderita pasien. Jika problem tersebut berhasil dicarikan solusi, Peter yakin ‘pasien’ bersedia membayar berapapun asal masalah mereka teratasi.
Karena itu, Wahyoo juga menyediakan fitur yang memudahkan para pemilik warung dalam mengelola keuangan mereka. Jamak dipahami, salah satu kebocoran bisnis warung makanan segmen kelas bawah seperti warteg adalah banyaknya konsumen yang berutang. Untuk mengatasi masalah ini, Wahyoo menyediakan fitur yang membantu mengingatkan masa jatuh tempo setiap pengutang.
“Harapan kami sih, bisnis mereka bisa berjalan layaknya resto modern,” ujar Peter seraya mengisahkan usahanya berbagi pengalaman sebagai tukang cuci piring saat hidup di luar negeri agar warung-warung itu punya standar kebersihan tinggi.
Explore Progam Loyalitas
Menjawab pertanyaan seputar problem penurunan bisnis, Pieter menegaskan loyalty program adalah salah satu kunci sukses semua usaha termasuk bisnis berbasis social (sociopreneurship).
“Seorang pengusaha memang harus ‘tergila-gila’ kepada pelanggannya. Sama seperti bisnis konvensional, agar konsumen datang kembali untuk membeli, langkah selanjutnya adalah customer service satisfaction. Untuk itu, alangkah baiknya kita membuat sebuah program loyalty, apakah dengan sistem membership, point reward, cashback dan lain-lain,” komentarnya ketika seorang mahasiswa dari Makasar mengeluh usaha warung jusnya turun ketika ia tinggal pulang kampung.
Peter mencatat, konsumen Indonesia memiliki karakter khas yaitu suka dilayani dan diperhatikan. Oleh karena itu ia menyarankan agar selain terbuka dengan masukan pelanggan, kita juga ingat hal-hal sederhana seperti ingat nama mereka.
Walaupun sederhana, hal itu penting karena mereka merasa dihargai. Karena itu kalau perlu pembawaan Anda yang seru dan ramai ini dijadikan semacam SOP karena mudah menarik pelanggan,” sarannya.
Bagaimana strategi bersaing dengan competitor yang sudah eksis?
Pieter mengingatkan, bahkan pemilik bisnis sekelas Starbuck pun dulu pasti juga punya pertanyaan serupa saat mulai merintis bisnisnya. Karena itu, para pemula bisnis tidak perlu berkecil hati.
Untuk keluar dari domuniasi itu, menurutnya, bisnis baru harus mampu menemukan apa diferensiasi dan unique selling proposition-nya.
“Cari kekuatan kita, apakah ada di harga, kualitas produk, servis, apa saja yang bikin unik. Selain itu kita juga harus terbuka terhadap review dan masukan dari pelanggan. Tanyakan kepada customer ada masukan apa,” ujar pria yang memiliki pengalaman panjang di dunia advertising tersebut.
Khusus untuk bisnis kuliner, Peter menekankan hal yang paling krusial adalah kualitas makanan. “Kalau nggak enak, jangan harapkan bisnis bisa naik. Pastikan makanan benar-benar enak, hingga bikin orang ketagihan,” tegasnya.
Begitupun, Peter mengingatkan bisnis tidak cukup diawali dengan passion dan skill. Sebelum mulai bisnis, seorang pemula mesti sudah mengetahui dulu apakah produknya cocok dengan daerah tersebut serta seberapa besar market size yang ia sasar. Setelah tahap tersebut, ia juga harus melakukan mapping untuk memetakan siapa saja kompetitor yang sudah bermain di kolam tersebut.
“Banyak yang mulai bisnis tanpa memperhitungkan potensi pasar dan strategi, akhirnya putus di tengah jalan. Karena itu, selain memastikan ada target yang memang mau mengonsumsi produk kita, pastikan juga bahwa mereka mau membayar untuk mendapatkannya,” pungkasnya.