Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Banyak orang yang merasa bahwa karier adalah jalur yang sudah terberi dan ada beragam faktor eksternal yang berpengaruh pada kemajuan kariernya. Mulai dari pendidikan yang memadai, perusahaan yang baik, sampai kepada atasan yang mendukung. Namun, bagaimana kondisi sekarang ketika disrupsi membuat dunia bisnis juga gonjang-ganjing?
Perusahaan yang tadinya terlihat kokoh, berada di urutan teratas dalam bidangnya, tiba-tiba merosot dan sulit untuk bangkit kembali. Apa yang perlu kita lakukan untuk menghadapi situasi seperti ini? Menyerah pada keadaan? Apakah kita masih bisa mengandalkan pertolongan?
Sebenarnya, ada satu sumber yang sering tidak terlihat oleh kita, bahkan tidak banyak kita sapa, perhitungkan, kembangkan, dan manfaatkan untuk menapaki karier, yaitu diri kita sendiri.
Sejarah membuktikan, pemimpin-pemimpin besar harus mengalahkan kompleksitas dirinya untuk dapat menjadi pemimpin yang hebat. Misalnya saja, Napoleon dengan ukuran badan yang tidak seperti orang Eropa lainnya.
Pada zamannya, pemimpin seperti Napoleon adalah kasus langka. Namun, sekarang, dengan populasi dunia yang semakin banyak, pesaing di depan mata, kita perlu mempertanyakan kembali bagaimana caranya kita bisa bergerak maju, terutama dalam berkarier.
Kita akan terkejut dengan apa yang dapat kita lakukan ketika kita berhasil “menguasai dan mengendalikan” diri kita sendiri. Kita baru menyadari, ternyata kita sering kalah sebelum bertanding, sering langsung tidak bermotivasi dalam memasuki tantangan yang rasanya bukan kekuatan kita. Apakah perasaan kita ini objektif? Apakah kita sudah benar-benar mengenal diri kita?
Kenali siapa kita: feedback analysis
Saat menjalani karier, banyak orang yang merasa bahwa mereka sangat kenal dengan diri mereka sehingga mereka tidak pernah lagi duduk mengevaluasi diri mereka sendiri. Padahal, seringkali perkiraan kita itu salah. Orang memang harus tahu kekuatannya sehingga dapat memberdayakannya, dan memahami kelemahannya sehingga dapat pula memperbaikinya.
Kita tidak lagi hidup pada zaman ketika keterampilan atau keahlian itu diturunkan seperti dahulu ketika tukang sepatu akan mewariskan keahliannya pada anaknya. Kita sekarang sudah mengandalkan kompetensi yang lebih kompleks. Untuk itulah kita perlu melakukan feedback analysis bagi diri sendiri.
Caranya adalah dengan mulai mengamati apa saja keputusan yang sudah kita ambil untuk diri kita sendiri. Tuliskan dalam sebuah catatan dan lakukan evaluasi 6-12 bulan kemudian. Hasilnya seringkali membuat kita terkejut karena ia membuka sisi lain dari diri kita yang mungkin selama ini luput dari pengenalan kita.
Temukan faktor yang menentukan keberhasilan kita untuk berkarier dalam beberapa bulan ini. Hal ini dapat merupakan sumber informasi yang berharga akan kekuatan kita. Pikirkan bagaimana kita dapat lebih memperkuat kelebihan kita ini.
Setelah itu, kita juga perlu menemukan titik intellectual arrogance kita sendiri. Kesombongan yang seringkali membuat kita terbutakan oleh diri kita sendiri. Hal ini bisa terjadi ketika kita begitu yakin akan kekuatan kita di bidang kita. Seorang insinyur merasa sudah ahli di bidang permesinan, sehingga pengetahuan mengenai manusia tidak dianggap penting.
Profesional di bidang sumber daya manusia (SDM) yang merasa bahwa pengetahuan mengenai bisnis dan keterampilan teknis lainnya tidak sepenting pengetahuannya.
Arogansi ini juga dapat membuat kita melupakan tata karma. Padahal, ini penting bagi kita untuk mendapatkan dukungan sosial yang dapat menentukan kesuksesan kita. Kata-kata, seperti “terima kasih”, “maaf”, “tolong”, memang perlu melekat di dalam perbendaharaan kita.
Kita juga perlu menelaah kebiasaan-kebiasaan buruk yang ternyata membuat kita kurang efektif dalam mencapai hasil.
Dalam feedback, biasanya terlihat beberapa kebiasaan buruk juga menjadi penyebab hambatan kita. Banyak orang yang memiliki perencanaan yang indah, tetapi kemudian ternyata tidak berhasil mencapai sasarannya. Penyebabnya bisa dari kebiasan menunda ataupun terlalu cepat menyerah. Hal-hal inilah yang perlu kita identifikasikan dan atasi segera.
Dari hal-hal yang ditemukan melalui feedback analysis ini, kita dapat memfokuskan energi pada hal-hal yang memang menunjang kinerja atau karier kita.
Cara kerja kita
Banyak orang yang selama mejajaki karier tidak sempat menelaah cara kerjanya. Padahal, bisa saja cara kerja seseorang berpengaruh besar pada kinerjanya. Bisa menahan, tetapi bisa juga mendorong. Ada orang yang lebih reader daripada listener ataupun sebaliknya.
Seorang reader harus membaca teks agar dapat memahami suatu pesan. Namun, ada orang yang lebih mudah belajar atau memahami secara auditif.
Cara belajar orangpun berbeda-beda. PM Churchill merasa bahwa kegiatan belajar di kelas adalah siksaan besar. Ia belajar dengan menulis. Ia harus menyalin baru bisa memasukkan materi pelajaran ke dalam pemikirannya.
Beethoven membuat banyak sekali catatan walaupun dalam komposisi lagunya catatan itu tidak pernah dilihat. Ia mengatakan bahwa dengan mencatat, ia dapat mengingat semuanya dalam pikirannya.
Some people learn by doing. Others learn by hearing themselves talk.
Ada orang yang ketika menjadi bawahan berkinerja sangat baik, tetapi ketika menjadi orang nomer satu kinerjanya mengempis. Ada juga orang yang lebih bagus bila bekerja sendiri ketimbang di dalam tim.
Yang jelas, mengubah diri sendiri tentunya lebih berat daripada sekedar mengenali kekuatan-kekuatan kita. Kita memang perlu bekerja keras untuk menguatkan kinerja dan karier kita, tetapi berfokus pada kekuatan akan membawa kemajuan yang nyata.
Kita juga perlu mengenal apa sebenarnya yang kita anggap paling penting dalam hidup dan perjalanan karier kita. Apakah ini sejalan dengan pekerjaan kita? Bagaimana menyeimbangkan misi pekerjaan kita dengan nilai-nilai yang kita junjung tinggi sehingga kita dapat berkontribusi dengan optimal.
Hak istimewa seumur hidup adalah menjadi diri Anda yang sebenarnya.
EXPERD, HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 13 November 2021