Oleh Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Banyak organisasi yang mengadakan pelatihan peningkatan motivasi merasa individu-individu di dalam naungannya kurang gereget, tidak memiliki motivasi dan agresivitas untuk maju. Sementara dalam kolom-kolom curhat karyawan, banyak yang mengeluhkan kondisi organisasinya yang menurut mereka sangat kental praktik-praktik subyektivitas.
Bila seseorang melakukan kesalahan, itu akan menempel untuk waktu yang cukup lama, bahkan bisa menjadi label yang akan mengikutinya ke mana pun ia pergi. Walaupun kesalahan tersebut tidak disebut-sebut lagi, individu tersebut dapat merasakan bahwa ia “tidak disukai” oleh pimpinan.
Akibat suasana “like and dislike” yang begitu kuat ini, individu-individu dalam organisasi akan berpikir dua kali sebelum mengambil tindakan inovatif yang beresiko. Akibatnya, hampir semua orang berusaha mengerjakan pekerjaan rutinnya saja, menghindari konflik sebisanya, dan tidak berbeda pendapat dengan orang lain.
Dengan kondisi pekerja seperti ini, bagaimana mungkin dapat tumbuh design thinking yang progresif? Bagaimana individu yang merasa berada dalam lingkungan yang tidak aman secara psikologis (psychologically safe) bahkan selalu dalam keadaan waswas, dapat memiliki motivasi untuk berinovasi.
Sayangnya, tidak banyak tempat kerja yang dapat mengakomodasi keamanan psikologis ini. Hasil penelitian Gallup pada 2017 menunjukan bahwa tiga dari sepuluh karyawan merasa bahwa ide mereka seringkali diabaikan oleh manajemen.
Apalagi pada masa pandemi ini dengan lokasi kerja yang terpisah-pisah, ide-ide yang “datang dari rumah” rasanya semakin jauh untuk dapat didengar apalagi digarap oleh manajemen. Survei terbaru mengatakan bahwa 50 persen dari pemimpin perempuan merasa mereka sulit untuk “berbicara” dalam rapat-rapat virtual, sementara 1 dari 5 orang merasa sering tidak didengarkan.
Apa dampak dari defisit rasa aman ini? Beberapa riset menemukan, organisasi yang menganut diversity of thoughts, yang terdiri atas individu-individu dengan pengalaman yang berbeda-beda, sebenarnya akan lebih cepat menemukan masalah dan dapat mengusahakan solusi-solusi kreatif. Tentunya bila semua orang merasa cukup nyaman untuk mengemukakan keberbedaan mereka itu ke hadapan publik. “A lack of psychological safety at work has real business repercussions”.
Pentingnya keamanan psikologis
Rasa aman individu dalam perusahaan memang hampir tidak pernah didiskusikan secara terbuka. Sebab, hal ini ada di alam bawah sadar pemikiran individu, dalam bentuk keyakinan bahwa ia tidak akan dihukum atau di-bully bila mengemukakan ide, pertanyaan, ataupun kesalahan tertentu.
Dalam buku The Fearless Organization: Creating Psychological Safety in the Workplace for Learning, Innovation, and Growth, Dr. Amy Edmondson menyatakan bahwa dalam lingkungan dengan keamanan psikologis yang kuat, individu akan merasa aman mengemukakan ide separuh jadi sekalipun, pertanyaan-pertanyaan yang tidak terlalu relevan, dan tentunya berpartisipasi aktif dalam sesi brainstorming tanpa perlu didorong-dorong oleh atasan ataupun diiming-imingi hadiah.
Hal ini tidak berarti bahwa suasana organisasi selalu ramah dan baik-baik, tetapi dalam menanggapi konflik dan pendapat akan terasa atmosfer saling menghormati satu sama lain.