“Mempelai Berkalang Luka”
Amarah, tangis dan tawa, mewarnai pementasan drama musikal Kemuning: Mempelai Berkalang Luka produksi Komsos Keuskupan Agung Jakarta di gedung pertunjukan bergengsi Ciputra Artpreneur, 11 dan 12 Mei lalu.
Diangkat dari peristiwa nyata, kisah cinta Kemuning yang diperankan oleh Widi Dwinanda, terlahir akibat korban perkosaan kerusuhan Mei 1998. Di mana Mawar ibunya yang diperankan Ria Probo, perempuan malang yang tidak terima harus melahirkan anak hasil perkosaan. Melihatnyanya dia tak hendak karena sangat melukai hati. Belum lagi menahan kepedihan kehilangan suami dan anak saat tragedi itu berlangsung.
Peristiwa demi peristiwa dikemas apik oleh Romo Harry Sulistyo sebagi penulis naskah sekaligus sutradara dari pementasan ini. Selama tiga tahun ia menyiapkan naskah ini lewat riset mendalam. Kisah cinta Kemuning dan kehidupan Mawar yang berkalang luka disajikan begitu mengharukan berpadu tembang lawas karya emas musisi legendaris A. Riyanto.
Meski kalimat demi kalimat puitis dan lara terucap dari bibir Kemungi dan Mawar sebagai tokoh utama, jangan pikir sepanjang drama ini bakal menguras air mata penonton. Ada saat di mana semua penonton terdiam haru seakan menelan semua kepedihan mereka, namun ada pula momen di mana penonton disegarkan dengan kemunculan 7 pasien gila dengan beragam karakter.
Tokoh gila dalam drama musikal ini bukan sekadar tempelan atau komedi kosong. Sekalipun dianggap tidak waras, dialog yang meluncur begitu spontan berupa kalimat satire dan up to date serta relevan sebagai sindiran situasi kini.
Berangkat dari keyakinan, bertemu kesungguhan, maka hasilnya kesuksesan, saya pun ikut. Super sekali kan saya…. Super gila maksudnya,” canda Ita Sembiring.
Keberadaan pasien gila juga tak sekadar mengandalkan kelucuan sebagai ‘badut panggung’, sebab disesuaikan dengan alur cerita. Di mana, para korban tragedi Mei ‘98 memang banyak mengalami stres akibat guncangan tak terduga. Pementasan ini memang tontonan musikal segar serta sarat pesan kemanusiaan. Uniknya pula para pemeran pasien gila yang bermain ciamik, sesungguhnya bukan berlatar belakang teater. Christian Reinaldo dan Herold Chen, keduanya adalah pegawai swasta. Sementara Yovanny Maria, Ari Purwandari, Andreas Tugiyanto yang dipanggil pakde dan Herman Hermawan dengan karakter imitasi ‘Inces’ yang tampil memukau adalah karyawan RS.St. Carolus.
Satu pasien gila lagi diperankan Ita sembiring, biasanya bekerja di belakang layar sebagai produser, penulis dan sutradara film-film indie. Malam itu Ita juga berakting maksimal dengan menciptakan kegilaan sendiri, membawa dua monyet bergelantungan tetapi selalu menyebutnya sebagai kura-kura. Bentuk kegilaan sederhana tapi sangat mengocok perut.
“Tidak mudah memerankan karakter orang gila. Apalagi bermain sebagai orang gila cerdas. Tingkah kami memang konyol, tetapi ucapan tetap ‘bergizi’. Harus selalu bisa menjaga keseimbangan, jangan sampai lebih terlihat cerdasnya daripada gilanya. Dan satu lagi saya juga bukan artis panggung,” ujar Ita Sembiring sambil terbahak.
Dia sendiri mengaku baru diajak dua minggu sebelum pementasan dan ikut latihan tinggal beberapa kali. “Saya menghormati kepercayaan yang diberikan Romo Harry sang sutradara yang nota bene punya selera tinggi, berkelas dan perfeksionis. Sesungguhnya itu perpaduan yang ‘menakutkan’. Tapi saya pikir bukan tanpa pertimbangan Romo pilih saya. Bahkan mungkin lewat sebuah pergumulan kenapa mengajak saya saat pementasan sudah tinggal menghitung jam. Berangkat dari keyakinan bila kesempatan bertemu kesungguhan, maka hasilnya kesuksesan, saya pun ikut. Super sekali kan saya…. Super gila maksudnya,” canda Ita Sembiring.
Saat ditanya kenapa berani mengambil tantangan ini, Ita sembiring yang sehari-hari memang spontan dan ‘nyablak’ menjelaskan lagi, sebab semua berawal dari niat baik dan tujuan mulia pementasan untuk kemanusiaan. Terutama lagi karena tidak dibebani skrip. “Sutradara membebaskan saya bicara apa saja, asal nyambung dan boleh improvisasi spontan dengan tetap menjaga alur serta keseimbangan dengan teman teman. Harus menghidupkan suasana. Kalau dikasih dialog yang harus saya hafalkan, wah… bisa bubar semua. Kemampuan saya menghafal dialog minim sekali,” ungkapnya jujur.
Sebagai penutup perbincangan, Ita Sembiring menuturkan lagi, “Semua yang kami lakukan untuk kemuliaan Tuhan. Jadi dengan rendah hati saya undang Tuhan campur tangan, menguasai mulut, hati dan pikiran kami semua, supaya bisa bermain maksimal. Dan itu terjadi!” (VA)