Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Dengan perubahan yang semakin mengganas seperti saat ini, informasi berjalan secepat cahaya. Namun, beragam informasi yang sudah tersimpan secara digital itu tidak akan bermanfaat bila organisasi tidak mengolahnya secara cepat dan strategis. Para kompetitor baru juga sibuk mencari celah untuk menyalip dengan kejelian mereka mengelola informasi.
Informasi yang ada sering kali tersebar di seluruh organisasi. Semakin besar organisasinya, semakin luas penyebaran informasi tersebut. Bagian produksi bisa jadi tidak tahu bagaimana pertarungan sengit dengan kompetitor lain di lapangan. Bagian penjualan barangkali tidak selalu tahu dengan baik keunggulan maupun kelemahan dari produk yang dimilikinya.
Banyak organisasi yang merasakan gejala “silo” ketika setiap divisi hanya mementingkan pencapaian targetnya sendiri tanpa memedulikan kinerja divisi lain sehingga timbul ketegangan-ketegangan internal antarmereka. Dalam perusahaan TI, konflik antara para developer dan mereka yang berhadapan dengan user pun kerap terjadi.
Banyak perusahaan tidak menyadari bahwa kesulitan bergerak mengikuti arus perubahan disebabkan oleh kurangnya alignment (keselarasan) internal. Sudah waktunya kita mempertanyakan apakah perusahaan masih dalam keadaan selaras yang memungkinkan kelincahan bergeraknya.
Allignment berarti adanya diskusi-diskusi hangat di kantin kantor seputar apa yang terjadi di pasaran; berusaha belajar dari kesuksesan kompetitor sambil mengupas tuntas apa yang bisa dilakukan bersama agar perusahaan dapat tetap memiliki nilai tambah dan menjadi pilihan utama di mata para pelanggannya.
Tidak ada saling menyalahkan satu sama lain karena semua orang berfokus pada apa yang bisa mereka lakukan dalam porsi masing-masing untuk mencapai target organisasi. Gunjingan dengan segera akan diakhiri karena semua sadar bahwa hal tersebut tidak membawa manfaat apa-apa bagi kemajuan perusahaan.
Bagaimana menyelaraskan nilai dan budaya alignment dengan tindakan sehari-hari ini?
Pertama, kita perlu menyadarkan seluruh karyawan bahwa setiap tugas yang dilakukan pasti berada dalam satu rangkaian rantai nilai. Kita tidak mungkin berdiri sendiri. Seorang salesman membutuhkan pelanggan yang membeli produk yang ditawarkannya, tetapi ia juga memerlukan rekan-rekan yang memberikannya produk untuk dijual.
Rantai nilai ini merupakan pedoman bagaimana setiap karyawan melakukan pelayanan kepada pelanggannya yang berada dalam rantai nilai berikutnya. Setiap karyawan perlu memahami dasar budaya perusahaan, komponen-komponen pelayanannya, dan bagaimana perusahaan ingin memberi nilai pada mutu layanannya.
Contohnya, sebuah perusahaan retail memiliki rantai pelayanan mulai dari bagian pembelian yang mencari produk-produk untuk dijual, bagian gudang dan logistik, bagian penjualan, sampai bagian penanganan keluhan pelanggan. Setiap individu yang berada dalam divisi berbeda tentunya memiliki target masing-masing yang berbeda pula.