Kelelahan Zoom

Oleh Eileen Rachman dan Emilia Jakob

Aspek terbesar yang berubah dari pandemi adalah gaya bekerja kita. Kita bahkan sering bertanya-tanya mengapa tidak dari dulu saja bekerja secara daring? Walaupun pandemi sudah berlalu, gaya bekerja hibrida masih diterapkan banyak organisasi karena banyak manfaat yang bisa diperoleh, salah satunya efisiensi waktu.

Bekerja daring dari rumah maupun area lain awalnya dipandang sebagai solusi ideal yang dapat memperbesar alokasi waktu bersama keluarga ketimbang dihabiskan untuk menempuh kemacetan jalanan. 

Para pekerja remote dinilai memiliki produktivitas lebih tinggi karena gangguan yang lebih sedikit, tidak harus menghabiskan waktu di jalanan, jam kerja yang fleksibel, maupun persiapan lain yang biasa harus mereka lakukan sebelum berangkat ke tempat kerja, serta beragam hal yang dapat meningkatkan stres.  

Namun, ternyata survei yang dilakukan beberapa organisasi besar menemukan bahwa para pekerja remote ini juga mengalami stres. Dell menemukan, 82 persen pekerja remote merasa burn out karena tidak ada batasan yang jelas antara kehidupan kantor dengan kehidupan rumah. 

Mereka kesulitan untuk “mematikan” pekerjaan mereka pada akhir hari. Berbeda ketika bekerja di kantor yang memiliki waktu pulang kerja dan perjalanan pulang sehingga membantu memisahkan pekerjaan dari kehidupan pribadi.

Dr Konstantin Lukin, psikolog yang mempelajari efek psikologis dari bekerja remote, mengatakan, “Ketika bekerja dari rumah, kita sering kali membuka diri untuk dihubungi kapan saja, yang membuat kita merasa tertekan dan terlalu sibuk.” Alih-alih menjaga work life balance, bekerja remote justru membuat kita bekerja lebih lama dari seharusnya.

Sebuah penelitian yang dilakukan Stanford Virtual Human Interaction Lab juga melihat, kita cenderung lebih lelah setelah melakukan rapat daring daripada luring. Fenomena ini sering kali disebut Zoom fatigue, kelelahan akibat terlalu banyak menggunakan platform video conference.

Pertemuan virtual mengharuskan kita untuk menjaga kontak mata dan tetap fokus pada layar lebih lama dibandingkan interaksi tatap muka, yang akhirnya mengakibatkan kelelahan mental. Demikian pula ketegangan untuk tampil “sempurna” di depan kamera dapat meningkatkan rasa cemas, yang sering kali disebut sebagai camera anxiety.

Banyak yang kemudian menutup kameranya selama proses rapat tanpa menyadari bahwa hal ini pun meningkatkan kelelahan dari lawan bicara yang berusaha mendapatkan umpan balik dari respons-respons nonverbal-nya selama berinteraksi.

Seperti dikatakan Viktor Frankl, salah satu cara manusia dapat menemukan makna dalam hidupnya adalah melalui pekerjaan. Dalam lingkungan kantor, berinteraksi dan berkolaborasi dengan rekan kerja, pengakuan dari atasan maupun pelanggan yang puas dapat membuat kita merasa bermakna.

Warner Bros. Discovery Segera Luncurkan Max di 7 Pasar Asia Tenggara, Taiwan, dan Hong Kong

Globalisasi Max berlanjut dengan peluncuran layanan streaming baru di kawasan iniRumah streaming bagi hits...

Rock Bar Luncurkan Menu Koktail Berkelanjutan Terinspirasi dari Samudra Hindia

Dalam rangka merayakan ulang tahun ke-15, Rock Bar, destinasi terkemuka untuk menikmati sunset, koktail,...

The Future of Food 2025

Dari Asia Pasifik ke Dunia: The Luxury Group by Marriott International Ungkap Tren Kuliner...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here