Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Keadaan ekonomi, ketegangan politik, berita buruk, tidak tersedianya fasilitas kesehatan yang memadai, membuat kita sangat takut dan khawatir belakangan ini. Tanpa banyak gerak, kita juga merasakan ketegangan dan kepenatan seolah sudah berjalan jauh sekali. Kelopak mata terasa sembab, jantung bekerja lebih cepat, dan napas tidak teratur, seolah-olah kita dikejar sesuatu entah apa.
Semenjak kecil, kita sudah diperkenalkan dengan rasa takut. Namun, rasa takut pada masa ini memang istimewa. Tidak berkesudahan bahkan makin meningkat. Di dalam kerumunan, antena ketakutan langsung menjulur. Gejala batuk bersin bisa membuat orang dalam gerbong MRT berhamburan turun.
Kita tahu ketakutan ini berlebihan, tetapi sering kali kita tetap kesulitan mengontrolnya. Dengan rasa takut yang semakin bertambah tanpa henti ini, otak menjadi kelelahan. Padahal, kita semua memiliki tanggung jawab untuk mengurus diri kita sendiri. Tidak ada orang yang bisa menolong kita untuk meredakan ketakutan kita selain diri sendiri.
Oleh karena itu, dengan obyek ketakutan yang masih membayang di depan mata, kita memang perlu menjaga kewarasan diri. Tentunya ini tidak semudah kata yang diucapkan, tetapi tetap harus diusahakan.
Rasa takut mengurangi imunitas
Seorang teman yang merencanakan pemeriksaan darah tiba-tiba menerima kabar buruk yang sangat mengejutkan persis sebelum darah diambil. Setelah hasil cek darahnya keluar, angka-angkanya menunjukkan hasil yang tidak normal. Dokter menginstruksikannya untuk mengulang pengetesan. Ternyata hasil yang kedua menunjukkan angka normal.
Dari sini, kita melihat bahwa rasa takut, kaget, dan emosi lainnya benar-benar berpengaruh terhadap kondisi fisik kita. Itulah sebabnya, banyak ahli kesehatan menasihati kita untuk tetap berpikir positif agar imunitas terjaga.
Reaksi otak manusia tidak banyak berubah sejak jaman primitif, ketika manusia menghadapi binatang buas dan merasa ketakutan. Namun, pada waktu itu, imajinasi belum secanggih sekarang. Rasa takut manusia sekarang ini bisa berupa rasa takut yang nyata, seperti terhadap penjahat, tetapi bisa juga berupa imajinasi yang belum terjadi. Bagaimana kalau saya tertular Covid-19, bagaimana kalau saya di-PHK, dan masih banyak lagi bayangan-bayangan yang sebenarnya belum tentu terjadi.
Ketakutan kita dikendalikan oleh otak. Ada dua bagian otak yang berpengaruh di sini. Pertama adalah frontal lobe untuk bagian kognitif dan yang kedua adalah amigdala yang mengatur emosi.
Bila bagian emosional lebih dominan mengalahkan bagian kognitif, ketakutan dan kecemasan akan menguasai kita. Amigdala bekerja sangat keras karena ingin menjaga kita dari ancaman kehidupan. Ini karena bila rasio tidak mendorong kita untuk memeriksa kebenaran dari obyek takut ini, kita akan semakin terpuruk dalam kecemasan.
“Hack your mind”
Amigdala sering juga disebut sebagai reptilian brain yang sangat impulsif dan bisa tidak terkontrol. Padahal, sebagai pemimpin, kita harus berperan sebagai lentera untuk pengikut kita. Kita perlu realistis, berpikir jernih, dan membuat keputusan yang tepat, selain perlu untuk menyebarkan ketenangan pada orang-orang di sekitar kita.
Ada beberapa latihan yang dapat dilakukan agar tetap sehat mental.
1. Sadari persepsi pribadi
Di masa pandemi ini, banyak beredar informasi mengenai obat, herbal, susu maupun vitamin yang diyakini dapat mengatasi Covid-19. Masyarakat pun ramai-ramai memborongnya sehingga membuat harganya melangit. Padahal pada zaman digital ini dengan mudah kita dapat mencari informasi dari sumber-sumber ilmiah yang lebih terpercaya kredibilitasnya, tetapi seringkali otak kita hanya ingin menerima hal-hal yang kita percayai. Oleh karena itu, kenali persepsi pribadi kita, cari data sebanyak-banyaknya sehingga rasionalitas kita dapat bekerja dengan baik.
2. Identifikasikan ‘trigger point’ ketakutan Anda
Kita perlu mendefinisikan dan memberi nama pada ketakutan itu agar kita dapat membawanya ke tahap rasio untuk dianalisis, baik oleh diri sendiri maupun bersama orang lain. Rasionalitas orang lain biasanya lebih segar ketika membicarakan perasaan yang bukan perasaannya sendiri. Namun, hati-hati jangan sampai rasa takut ini menimbulkan domino effect yang malah menular kepada teman lain.
3. Berprinsip gelas setengah penuh
Menghadapi krisis ini, banyak yang khawatir melihat masa depan. Bagaimana kalau krisis ini berlanjut? Bagaimana kalau peluang bisnis sudah demikian menyempit? Namun, ada seorang pimpinan perusahaan yang terlihat tenang-tenang saja meskipun terpaksa menutup perusahaannya yang sudah berjalan puluhan tahun karena kondisi keuangan yang terus minus. Ia berkata, “Saya tidak memandang hidup dari kekurangan saya, tetapi dari kecukupannya. A half empty glass can still be filled with other nice things”. Prinsip hidup kita pun dapat diarahkan sehingga ketakutan yang dulu sering muncul dapat diredakan.
4. Kata-kata baru dalam self talk
Amigdala si pusat emosi senang menyimpan kata-kata. Kata-kata yang muncul dari kecemasan ketika kita mendengar bunyi sirene ambulans, ketika membaca berita buruk mengenai pandemi akan tersimpan dan terus menghidupkan rasa takut kita. Oleh karena itu, kita perlu mendidik amigdala untuk berpikir berbeda. Mempelajari kiat sukses mereka yang sembuh dengan cepat, membuat kita berjanji dalam hati untuk memilih makanan sehat, berolah raga, dan berlatih pernafasan.
5. Tingkatkan keamanan
Vaksinasi memang tidak menjamin bahwa kita tidak akan tertular. Ibarat menggunakan payung di tengah hujan, bila hujan kecil kita akan aman, sekalipun hujan cukup besar, paling tidak payung menjaga kita tidak sampai basah kuyub. Apalagi bila ditambah dengan jas hujan dan sepatu bot. Vaksin ditambah dengan upaya-upaya 3M yang sekarang sudah menjadi 7 M merupakan usaha kita yang juga dapat meningkatkan ketenangan mengetahui bahwa kita sudah melakukan upaya terbaik yang kita bisa dalam menghadapi situasi yang ada.
The oldest and strongest emotion of mankind is fear, and the oldest and strongest kind of fear is fear of the unknown. – HP Lovecraft
EXPERD – HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 31 Juli 2021