Termasuk di Indonesia, yang mengacu kepada data BPS bulan Februari 2024, penduduknya memiliki rata-rata pendapatan 3,04 juta Rupiah per bulan. “Pendapatan rata-rata orang Indonesia per tahun saja hanya sekitar 36 juta ($ 2.344), bagaimana mau mengakses obat?” ujar Aditya.
IAC juga merujuk pada hasil riset dari Universitas Liverpool, yang memperkirakan bahwa Lenacapavir versi generik dapat diproduksi secara massal dengan harga $63-$93 PPY, dan bisa turun menjadi $26-$40 PPY apabila volume produksi mencapai 10 juta.
Estimasi tersebut sudah memperhitungkan margin keuntungan sebesar 30%, dan hanya 1/1000 dari harga yang dijual saat ini. Perbedaan yang mencolok ini menegaskan bahwa harga Lenacapavir sangat tidak masuk akal, dan menunjukkan pentingnya upaya advokasi demi mendorong produksi versi generik yang lebih terjangkau.
“Monopoli tidak berdasar atas obat-obatan esensial tidak boleh dibiarkan,” ujar Aditya. “Kita tidak bisa membiarkan kondisi ini terus berlanjut. Lenacapavir memiliki potensi besar untuk mengakhiri epidemi AIDS, jika dapat diakses oleh semua yang membutuhkan, bukan hanya mereka yang mampu membayar.”
“Semakin lama akses publik ke Lenacapavir ditunda, maka akan semakin banyak kasus infeksi baru atau bahkan kematian akibat AIDS di dunia. Lenacapavir harus tersedia secara cepat, berkelanjutan, dalam jumlah yang cukup, serta dengan harga terjangkau bagi semua.”
Banding paten yang dilakukan oleh IAC ini merupakan bagian dari upaya advokasi untuk menentang monopoli paten oleh perusahaan-perusahaan farmasi besar yang menghambat akses ke pengobatan esensial di negara-negara berkembang.
Melalui Konsorsium Make Medicines Affordable yang dipimpin oleh ITPC, berbagai organisasi berbasis komunitas di India, Argentina, Indonesia, Vietnam, dan Thailand telah mengajukan 9 permohonan banding paten atas Lenacapavir milik Gilead.
Organisasi-organisasi tersebut adalah Thai Network of People living with HIV (TNP+), Delhi Network of Positive People (DNP+), Fundación Grupo Efecto Positivo, Vietnam Network of People living with HIV (VNP+), dan Indonesia AIDS Coalition (IAC).
“Kita perlu segera membuka akses ke Lenacapavir dan memastikan bahwa inovasi ini bisa dimanfaatkan oleh semua orang, tanpa terkecuali,” lanjut Ferry Norila, Communication, Campaign, and Advocacy Coordinator IAC.
“Saat ini, akses ke Lenacapavir terhalang oleh berbagai paten sekunder. Padahal, UU Paten Indonesia, melalui Pasal 4(f) tidak memperbolehkan adanya paten terhadap penggunaan ataupun bentuk baru dari senyawa yang sudah dikenal tanpa adanya peningkatan manfaat. Monopoli paten, sebagaimana dengan yang dilakukan oleh Gilead, membatasi masuknya produsen generik dan menghambat akses ke obat-obatan yang terjangkau di Indonesia.“