Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Pada suatu wawancara, seorang konsultan bertanya apa visi seorang pimpinan yang ingin mentransformasikan bisnisnya menjadi digital. Dengan cepat, pemimpin tersebut menjawab bahwa untuk itulah ia membayar sang konsultan. Hal ini menunjukkan bisa jadi pimpinan itu sendiri buta tentang dunia digital alias digitally illiterate.
Semua perusahaan berlomba-lomba untuk bertransformasi menuju digitalisasi. Perusahaan yang tadinya hanya berfokus dalam memproduksi mobil pun tidak ketinggalan. Padahal, tadinya mereka mengeluh, “Kami tidak paham dunia digital, yang kami mengerti hanya seluk beluk mobil.”
Banyak perusahaan yang sekarang sedang beroperasi aktif, tidak memiliki pemimpin yang cukup kuat untuk mengelola transformasi digital ini. Dari sebuah penelitian terhadap 2.000 perusahaan mengenai digital savvy, yang artinya sekitar 50 persen anggota tim sudah dapat membawa perusahaan mencari solusi melalui teknologi, ternyata hanya 7 persen yang boleh dibilang sudah digital savvy.
Tidak heran bila berdasarkan studi ditemukan, bahwa dari 80 persen perusahaan yang berusaha mengakselerasi transformasi digitalnya, 70 persen di antaranya menemui kegagalan.
Dari sini, kita melihat, transformasi digital ini memerlukan komitmen yang all out. Perubahan yang dibuat perlu dikelola secara menyeluruh, mulai dari strategi sampai implementasinya. Setiap pemimpin tidak bisa tidak, perlu menguasai nuansa dunia digital yang berorientasi pada user experience dan mengarahkan semua pada desain baru yang melek teknologi.
Jadi, bagaimana dengan pimpinan perusahaan yang sedari awal memang tidak terlahir digital? Brian Chesky (Airbnb), Tim Westergren (Pandora), Sean Rad (Tinder), Evan Sharp (Pinterest) dan William Tanuwijaya (Tokopedia) bukanlah orang-orang yang terlahir di dunia digital. Mereka belajar mengenal dunia digital dalam pekerjaannya. Ketika mereka mengembangkan bisnisnya, mereka belum memiliki strategi teknologi yang menyeluruh.
Memang, diperlukan tiga tokoh teknologi informasi dalam proses membangun usaha digital dalam organisasi, mulai dari yang berkepentingan mengurus produk, desain, dan CTO alias chief technology officer.
Namun, seorang pemimpin perlu terlibat dalam penentuan strategi produk, desain, dan segenap perangkat yang harus dipersiapkan. Bila dalam organisasi ini kemudian dibangun sebuah birokrasi yang membuat span of control CEO menjadi jauh, gerak perusahaan akan terasa lamban.
Bila pimpinan tidak berada di tengah tim, pengambilan keputusan akan berupa konsensus yang menghambat kecepatan dan keunikan. Seorang pimpinan juga tidak bisa mengelak dari peran sebagai agent of change. The CEO needs to lead from the front, and rally the company to believe in what might appear to be a distant destination.
Taktik mengakselerasi transformasi digital
Nothing changes unless people’s behavior changes. Banyak orang berpendapat, transformasi teknologi terjadi pada saat kita melakukan upgrade sistem. Padahal, pemanfaatan alat canggih ini sangat membutuhkan kinerja manusia.