Oleh Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Hidup ini penuh perubahan. Heraclitus, sang filsuf Yunani kuno, pun memopulerkan istilah panta rei, yang berarti tidak ada yang tidak berubah, semuanya mengalir.
Namun, di tengah-tengah perubahan seperti itu, masyarakat, anak buah, dan pengikut membutuhkan sosok yang tegak dan konstan ibarat tonggak yang menancap kuat untuk menjadi pegangan di tengah arus sungai agar tidak hanyut.
Apa jadinya bila pemimpin yang diharapkan menjadi tempat bertahan ternyata begitu mudahnya mengingkari kata-katanya sendiri? Awalnya gencar mengecam korupsi dan kolusi tapi lama-kelamaan tidak lagi bersuara. Alih-alih korupsi diberantas, malah para pelaku mendapat jabatan.
Dalam dunia bisnis kita melihat bagaimana Elon Musk dengan mudahnya melakukan perubahan dalam kebijakannya, baik di X maupun Tesla. Baru saja mengumumkan kinerja perusahaan yang meningkat dan visi masa depannya, tiba-tiba ia melakukan PHK terhadap karyawannya.
Walaupun dipandang sebagai seorang yang visioner dengan ide-ide besar, keputusan dan komunikasinya sering kali tidak selaras. Ini menciptakan tantangan bagi karyawan dan para stakeholders-nya untuk memahami dan memprediksi keputusan-keputusannya.
Karyawan tidak tahu apa yang diharapkan dari mereka. Pelanggan pun tidak yakin apakah akan terjadi perubahan pada masa mendatang dengan produk ataupun layanan yang sekarang diberikan.
Ketidakkonsistenan seorang pemimpin juga dapat menyebabkan anak buah enggan bertindak. Mereka ingin melihat apa yang kali ini diprioritaskan oleh pemimpin untuk dilakukan terlebih dulu. Ini tentunya dapat menyebabkan penundaan yang berakibat pada peningkatan risiko dan biaya.
Sementara itu, konsistensi dapat membangun rasa percaya karena anak buah merasa mengenal pemimpinnya, apa yang dia inginkan, apa yang diharapkan, dan bagaimana standar yang harus dicapai sehingga mereka dapat menunjukkan inisiatif untuk mengambil langkah.
Trust is earned, not given, demikian kata pepatah. Rasa percaya karenanya tidak bisa diminta apalagi dipaksakan. Rasa percaya tumbuh melalui proses yang diberikan oleh bukti-bukti konsistensi antara perkataan dan perbuatan, antara satu perbuatan dan perbuatan lainnya dalam kurun waktu yang cukup panjang.
Rasa percaya merupakan buah yang dihasilkan dari kekonsistenan. Pimpinan yang pilih kasih, bersikap keras pada divisi tertentu dengan dalih untuk memacu performa kerja mereka tapi menabur pujian pada divisi lain, sebenarnya sedang menanam benih-benih ketidakpercayaan dengan tingkah lakunya yang tidak luput dari pengamatan anak buah.