Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Memimpin suatu tim, organisasi, ataupun perusahaan dalam krisis, seperti menjaga telur di ujung tanduk. Krisis selalu terdiri atas dua fase. Pertama, fase genting atau darurat yang membutuhkan pemimpin untuk menstabilkan situasi dan berkejaran dengan waktu. Kedua, fase adaptif, ketika penyebab krisis dan dampak-dampaknya perlu dikelola dan diatur agar dapat beradaptasi dengan situasi baru. Orang sering menyebutnya sebagai “the new normal”.
Fase adaptif ini bisa mengecoh ketika kecemasan sudah berkurang, padahal sebenarnya kita harus tetap siaga terhadap kemungkinan krisis berikutnya. Para follower berharap ada titik terang yang ditunjukkan oleh pemimpinnya. Padahal, pemimpin pun tidak bisa memberikan solusi yang jelas karena memang kondisi ini pun baru bagi mereka.
Pemimpin berusaha meyakinkan setiap individu untuk seadaptif mungkin dengan keadaan, tetapi banyak yang berharap ada tips and trick jitu, padahal yang harus berubah adalah mindset masing-masing individu. Twists and turns are the only certainty. Hal ini tak jarang membuat pemimpin merasa kecewa dan kelelahan. Namun, justru di sinilah peran pemimpin sangat penting.
Tiarap atau tekan “reset”?
Ada reaksi yang umum dalam menghadapi krisis. Banyak pemimpin yang memutuskan untuk menidurkan operasi perusahaan. Biasanya mereka berpikir bahwa krisis ini sementara dan situasi akan kembali normal. Mereka akan segera memperketat kontrol, memotong biaya, ataupun melakukan restrukturisasi organisasi agar lebih efisien.
Yang ada di benaknya adalah pengurangan beban akan mengurangi stres, frustrasi, dan ketakutan. Mereka berfokus untuk mengamankan hal-hal yang bisa diselamatkan selagi badai mengamuk. Pengembangan yang membutuhkan investasi untuk sementara ditunda terlebih dulu sampai keadaan aman.
Hal itu sangat bisa dipahami karena secara alamiah kita memang cenderung melakukan tindakan protektif ketika ancaman datang sambil berharap matahari akan cerah kembali. Namun, realitas yang terjadi, masa lalu ternyata tidak kunjung kembali, bahkan perubahan bergerak seperti tanpa kendali.
Hasil penelitian mengatakan bahwa hanya 20 persen pasien pasca-serangan jantung yang berhenti merokok, mengubah cara makan, dan berolahraga. Artinya, setelah krisis kebiasaan lama tetap dipertahankan. Mengapa hal ini terjadi? Mereka lupa pada kecemasan ketika menghadapi krisis.
Individu dengan adaptive leadership tidak akan membuat kesalahan ini. Orang yang adaptif tidak akan tiarap terus-menerus. Mereka langsung bangun, sambil berupaya menemukan kesempatan apa yang bisa diraih saat itu, seperti seolah-olah menekan tombol reset pada alat elektronik yang membuat sistem dengan sendirinya memperbaiki diri.
Turbulensi yang dialami dianggap sebagai momentum untuk meninggalkan masa lalu dan bersiap menghadapi masa depan. Dalam proses adaptasinya, mereka mengubah “rule of the games”-nya, membenahi bagian-bagian organisasi yang terasa usang, dan melakukan definisi ulang cara kerja.
Frustrasi akan tetap ada, terutama pada individu yang terdampak perubahan drastis. Mereka harus berkembang, mengembangkan kompetensi baru, dan menyesuaikan diri. Di sini dibutuhkan empati pemimpin terhadap anggota tim yang memang mengalami guncangan. Dalam konteks ini, leadership is an improvisational and experimental art.