Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Sebulan terakhir, kita terganggu oleh video viral penganiayaan seorang anak di bawah umur. Semua bertanya-tanya, ke mana nurani si penganiaya itu. Kemudian, kejadian ini dikaitkan dengan kecurigaan masyarakat tentang cara orangtuanya memperoleh harta kekayaan.
Sikap masyarakat yang terganggu ini menular ke lembaga-lembaga pemerintah. Menteri marah besar, merasa kecolongan. Apalagi ketika di kalangan masyarakat muncul ketidakpercayaan atas kinerja lembaga pemungut pajak ini. Orangtua pelaku diperiksa.
Pernyataan orangtua kepada wartawan sama sekali tidak mengandung rasa menyesal, melainkan meminta belas kasihan. Tiba-tiba muncul berita tentang kasus yang sama lagi di departemen lain. Pamer harta oleh seorang ASN yang penghasilannya tidak mungkin mengonsumsi sebegitu banyak. Rasanya, berita yang trending di media sosial ini masih akan berlanjut.
Pertanyaannya, apakah ini merupakan tontonan yang mengasyikkan? Apakah cukup hanya merasa prihatin? Apakah gejala ini harus kita anggap lumrah? Apa yang terjadi pada hati nurani oknum tersebut? Mungkinkah kejadian ini terjadi pada kebanyakan pegawai? Bagaimana dengan nurani kita sendiri? Apakah kita sudah menjaganya dengan baik agar tetap peka atau semakin tipis karena sering diabaikan?
Kita semua mempunyai sinyal-sinyal moral yang tumbuh sejak masa kecil. Agama dan nilai-nilai yang diajarkan orangtua dan masyarakat akan memengaruhi sinyal moral kita. Sinyal-sinyal ini memagari kita untuk membuat keputusan-keputusan moral ketika muncul dilema yang mengharuskan kita memilih antara baik dan buruk. Inilah yang disebut suara nurani.
Suara nurani
Melemahnya suara hati ini tidak terjadi dalam waktu semalam. Kesalahan-kesalahan kecil yang dianggap sepele bisa jadi berimbas pada kekuatan hati nurani. Ketika kita melanggar aturan lalu lintas, kita ingin persoalannya diselesaikan tanpa ribet.
Kita juga melihat orang lain melakukan hal yang sama sehingga kita semakin merasa bahwa cara penyelesaian seperti ini adalah lumrah. Apalagi jika ada pengalaman orang lain yang ingin menyelesaikan masalah dengan cara benar justru semakin dipersulit.
Dilema yang kita hadapi tentunya tidak sekadar hitam-putih. Begitu banyak area abu-abu yang membuat kita sulit mengambil keputusan secara bulat. Langkah mana yang harus dipilih? Risiko apa yang harus ditanggung pada kemudian hari? Terkadang ada keputusan-keputusan yang akan menghantui sepanjang hidup kita.
Dalam ranah publik diskusi-diskusi mengenai apa yang benar dan yang salah juga banyak terjadi. Di sinilah kita perlu mempertajam kesadaran nurani kita. Jangan sampai apa yang benar menjadi salah, apa yang salah bisa jadi benar, tanpa ada niat untuk mengoreksi.
Di sinilah pentingnya dialog mengenai etika dan moral perlu dilakukan terus-menerus untuk meningkatkan kekuatan dan ketajaman suara hati kita.