Maju dalam transparansi
Kita sama-sama melihat bahwa kemajuan suatu bisnis atau lembaga tidak dapat terlepas dari rasa percaya dan integritas. Bila kita terjebak dalam situasi konflik kepentingan yang beredar secara simpang siur, mau tidak mau kita perlu kembali meninjau aturan–aturan yang berlaku untuk memperbaharui atau memperdalamnya.
Kita perlu mencari tahu bagaimana ketimpangan–ketimpangan yang terjadi dapat lolos dari aturan yang sudah ada. Temukan di mana celah–celah kebocoran terjadi dan apa yang dapat kita lakukan untuk menambalnya.
Dalam penyusunan aturan baru itu kita perlu memasukkan kewaspadaan terhadap kemungkinan konflik-konflik samar mulai terjadi sebelum berkembang menjadi besar dengan membuat pagar–pagar peraturan yang lebih ketat lagi.
Kita juga perlu memikirkan mekanisme pelaporan whistle blowing dan cara mengamankan pelapor sehingga tidak terkena gejala “kill the messenger” yang menumbuhkan gerakan tutup mulut.
Transparansi ini mudah diucapkan, tetapi sangat sulit dibudayakan. Karenanya komunikasi internal sangat dibutuhkan. Tidak cukup dengan komunikasi sehari–hari.
Kita perlu mengkampanyekan hal ini secara masif sambil terus mewaspadai “lip service” yang tidak dipraktikkan. Pimpinan perlu maju sebagai role model utama dalam melakukan transparansi ini untuk menunjukkan keseriusan organisasi dalam menjaga integritas.
Konkuensi dari perilaku yang tetap muncul harus jelas dan tegas. Kita juga perlu melakukan evaluasi bahkan ketika tidak terjadi apa-apa, untuk memastikan apakah memang transparansi dan sistem yang ada sudah terbangun dan berjalan dengan baik, ataukah kita yang kurang jeli dalam menangkap fenomena yang terjadi di lapangan.
“At a certain level of learning and understanding, right or wrong ain’t the issue, but different interest.”―Toba Beta
EXPERD, HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 2 Desember 2023