Oleh Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Kita tahu beberapa perusahaan raksasa berakhir menjadi sebuah legenda. Stephen Elo, CEO Nokia, yang pernah begitu besarnya mengatakan, “Kami tidak melakukan kesalahan apa pun, tapi entah mengapa kami kalah,” menunjukkan betapa ia tidak menyadari bagaimana ia terlena dan lalai memikirkan strategi perubahan yang sebetulnya sudah terjadi di depan mata sehingga membuat perusahaannya terbenam.
Di tempat lain, CEO Toys “R” Us David Brandon menyadari bahwa menurunnya angka penjualan secara drastis dikarenakan kebijakan-kebijakannya yang terlambat dilaksanakan. Ini diungkapkannya ketika banyak orang menuduh Amazon mematikan bisnis Toys “R” Us, sebelum kemudian Amazon ternyata merangkul Toys “R” Us untuk berkerja sama kembali.
New normal sebenarnya bukan terjadi ketika pandemi saja. Ketika disrupsi sudah tidak terkontrol, media daring menghantam media cetak, hak cipta pun semakin sulit dipertahankan dengan mudahnya melakukan modifikasi. Oleh karena itu, kemampuan pemimpin untuk mengendalikan armada sangat diandalkan. Dunia new normal memiliki karakter berbeda dengan dunia bisnis 20 tahun yang lalu.
Saat sekarang, kompetisi, selain dipengaruhi oleh tekanan finansial dan aspek-aspek geopolitik, diwarnai dengan perubahan teknologi pesat yang membutuhkan ketajaman analisa data, membuat pemimpin dengan pola terdahulu kewalahan mengembangkan pendekatan berpikirnya.
Bisa dikatakan, pemimpin era terdahulu dimanjakan oleh kenyamanan kondisi ekonomi masa tersebut. Mindset ini tidak dapat diterapkan dalam dunia yang penuh dengan kejutan ini.
Dalam beberapa studi, ditemukan bahwa pemimpin-pemimpin terdahulu banyak yang kehilangan keterampilan berpikir kritisnya. Banyak keputusan dibuat berdasarkan informasi yang tidak lengkap dan tidak adanya keseriusan untuk mempelajari langkah-langkah yang salah.
Bila mengharapkan hasil yang berbeda, perusahaan memang harus melakukan banyak hal dengan cara yang berbeda pula. Perubahan ini harus dimulai dari cara berpikir pemimpinnya. Thinking drives behaviour; behaviour drives results.
Pentingnya berpikir kritis
Dalam bukunya Thought and Knowledge, Diane Halpern, seorang profesor dalam ilmu psikologi, menulis, berpikir kritis adalah keterampilan kognitif yang meningkatkan probabilitas kesuksesan. Berpikir kritis adalah pemikiran yang bertujuan, beralasan, dan memiliki sasaran dalam pemecahan masalah dan membuat keputusan.
Berdasarkan riset terakhir yang dilakukan Executive Development Associates (EDA) setiap 2 tahunan, ternyata hot topics dari pengembangan eksekutif adalah kepemimpinan, business acumen, manajemen strategis, dan people management, yang berpikir kritis pastinya mendasari semua keterampilan tersebut.