Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Rasanya tidak ada ujian kepemimpinan seberat masa pandemi ini. Bayangkan kalau Anda menjadi menteri pendidikan. Sebelum Covid-19, tantangan agar semua anak bisa mendapatkan pendidikan yang up to date saja sudah sangat rumit. Tiba-tiba Covid-19 datang.
Sekarang, dia harus memastikan bahwa pendidikan dapat berjalan lancar sampai ke pelosok, dengan infrastruktur yang apa adanya, sambil tetap memikirkan keselamatan dan kesehatan para guru dan murid se-Indonesia.
Pengusaha-pengusaha yang tadinya bisa bersantai dengan clientele yang mantab, tiba-tiba shock karena order berhenti. Bayangkan bagaimana sulitnya seorang presiden yang memimpin negara dengan belasan ribu pulau dan suku bangsa.
Strategi harus dibuat, keputusan harus diambil meskipun tidak selamanya membahagiakan semua pihak dengan risiko rasa percaya dan keyakinan bawahan akan pemimpinnya jadi pudar.
Selama 15 bulan terakhir ini merupakan situasi yang sangat istimewa. Krisis sosial ekonomi yang dahsyat membuat banyak pemimpin diam terpaku, tetapi ada juga pemimpin yang bangkit dan menunjukkan authenticity serta resiliency-nya. Mereka justru belajar dengan cepat, bahkan menelurkan banyak ide kreatifnya.
Perusahaan dibuat lebih efisien dan efektif. Apa yang sebenarnya mereka lakukan?
Pertama, responsif terhadap keadaan yang paling mutakhir. Mereka memperjelas sasarannya: memproteksi kesehatan karyawan, menjaga supply chain tidak putus, dan menjaga likuiditas perusahaan.
Bila pemimpin jelas dengan tujuannya serta mampu mengkomunikasikannya dengan jelas, para pengikut akan mendukungnya dalam keadaan terjepit sekalipun. Tim terus bergerak maju. Crises created clarity.
Kedua, menata ulang peran mereka sebagai pemimpin dalam menghadapi kenormalan baru. Dengan disrupsi yang begitu cepat, ia tidak lagi diharapkan membuat perencanaan jangka panjang yang matematis.
Daya adaptasi cepatlah yang diperlukan. Dengan sendirinya, leadership game mereka pun harus berubah arah. Beberapa perubahan yang terlihat nyata adalah sebagai berikut.
- Pembatasan komunikasi satu arah, kurangi townhall meetings, perbanyak pertemuan yang diisi dengan berbagi pengalaman dan tantangan dari lapangan.
- Mengganti rapat evaluasi bulanan dengan rapat kilat mingguan untuk mengambil keputusan urgent yang tidak bisa ditunda lagi.
- Meniadakan forecast triwulanan, karena perusahaan perlu lebih berfokus pada peningkatan value di mata para stakeholders ketimbang pada hasil nyata yang harus terlihat dalam waktu singkat.
- Memprioritaskan budaya perusahaan. Bila kesehatan dianggap sebagai prioritas pertama di perusahaan, maka apapun konsekuensinya, seluruh karyawan harus membela dan mengimplementasikan nilai tersebut.
Pergeseran profil pemimpin
Berpangkal pada keadaan ekonomi yang tidak menentu, kesenjangan sosial, kebutuhan akan engagement, serta fleksibilitas tempat kerja, kita memang memerlukan model kepemimpinan yang berbeda.
Tingkat kejujuran yang diwarnai kejelasan. Banyak brutal facts yang dihadapi dalam situasi kisruh ini. Seorang pemimpin tidak bisa memberi keterangan yang samar, atau berbelit-belit alias ambigu.
Tidak boleh ada half truth. Bila memang ada hal yang belum diyakini oleh pemimpin, hendaknya ia mencari tahu dahulu sebelum mengkomunikasikannya.
Data keuangan di tingkat negara sekalipun dengan ketepaparan Covid-19, kesanggupan rumah sakit dan lainnya, perlu dikomunikasikan segamblang-gamblangnya. Pemimpin perlu meluruskan dan memberikan keterangan yang setepat-tepatnya dari berita simpang siur yang beredar di masyarakat.
Pemimpin perlu mampu mengendalikan tim hybrid. Sejak adanya Covid-19, karyawan mulai beradaptasi dengan metode bekerja remote. Sementara itu, banyak juga perusahaan, terutama lembaga pemerintah, yang tetap mengutamakan pertemuan fisik di kantor sehingga situasi hybrid pun tercipta.
Bentuk kantor hybrid sungguh berbeda dengan kantor biasa yang kosong. Seorang pemimpin perlu memiliki keterampilan mengoordinasikan dan menggerakkan tim yang tidak terlihat di depan mata ini. Perlu dipikirkan bagaimana satu karyawan berkontak dengan yang lain, bagaimana teamwork diupayakan, dan bagaimana penghargaan terhadap prestasi juga tetap berjalan.
“If you just sit back and don’t bring your virtual teams together regularly, work streams will fall apart,”.
Bersikap optimistis, tapi realistis. Dalam krisis seperti ini, semua mata akan memandang pemimpinnya dengan penuh harap. Pemimpin tidak boleh memperlihatkan kekhawatiran dan pesimisme, tetapi ia pun tidak boleh memberi harapan palsu kepada para pengikutnya.
Kita bisa memberi harapan yang realistis seperti mengatakan: “The company is suffering, but we could find the silver lining in the dark cloud”.
Pemimpin memang perlu sering menyebarkan berita terbaru dan mengupayakan komunikasi dua arah agar bisa meraba rasa pikiran dan perasaan para karyawan.
Kita tidak bisa menjadi loner. Bagaimanapun introvernya seorang pemimpin, kita perlu tetap membangun kebersamaan pada masa krisis. Perlu ada sense of team yang kuat. Kita memerlukan energi yang dapat mendorong tim kita ke tujuan.
Di sini, kita memerlukan komunikasi yang intensif. Kita tidak bisa lagi menjadi pemimpin yang tidak terjangkau anak buah. Kita pun tidak bisa lagi merasa paling tahu. Para pengikut kita bisa jadi memiliki pendapat yang sangat bernilai, yang sama sekali tidak terpikirkan oleh kita. Pemimpin yang bisa bertahan adalah mereka yang mendengarkan pendapat bawahannya.
Menanggulangi micro managing dengan menguatkan trust. Anggota tim kita sudah pasti adalah orang pilihan. Kita perlu memberi mereka kepercayaan untuk lebih akuntabel ke pekerjaan mereka. Biarkan mereka memikirkan taktik pengerjaan mereka sendiri. Dengan demkian, seorang pemimpin memiliki lebih banyak waktu untuk berpikir strategis dan melihat big picture dari bisnisnya.
Jadi, 2020 dan 2021 ditandai dengan berubahnya cara memimpin di muka bumi ini. Dan hal itu pasti membawa manfaat bagi kita semua.
EXPERD – HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 10 Juli 2021