Oleh Denny JA
“Di atas panggung kabaret, saya bisa melepaskan semua topeng yang dipaksa masyarakat untuk saya kenakan. Di sinilah, dengan kostum dan cahaya lampu, saya menemukan kebebasan untuk menjadi diri saya yang sejati.”
Ekspresi ini saya dengar ketika menonton TV di Thailand, yang menampilkan kisah aktivis kabaret show di sana, sekitar 14 tahun lalu. Pemeran kabaret show di Thailand itu semuanya lady boy, transpuan, waria.
Acara kabaret bagi para transpuan, waria, atau lady boy ini tak hanya panggung hiburan. Ia juga menjadi media ekspresi.
Para transpuan ini acapkali mendapatkan cemooh dan diskriminasi dari masyarakat. Tapi di panggung kabaret, kepala mereka tegak, bebas menyatakan diri, dan memperoleh tepuk tangan. Kabaret juga menjadi terapi bagi para transpuan.
Ucapan aktivis transpuan di Thailand itu terngiang-ngiang di pikiran, saat saya duduk lesehan di lantai tiga Hamzah Batik, di malam 7 September 2024. Sejak pagi saya persiapkan diri ingin menikmati pertunjukan Raminten Cabaret Show.
Berbagai ragam tari dipentaskan di Raminten Cabaret Show. Mulai dari pembuka tari tradisional Jawa, hingga gemerlap para superstar dari Dancing Queen, ABBA, hingga Jennifer Lopez, yang diperankan para transpuan dengan lip-sync.
Musik menyentak. Panggung gemerlap. Permainan lampu. Kembang api. Tari-tarian yang seksi, lucu, hingga berseni.
Dengan tiket yang terjangkau, Raminten Cabaret telah menjadi salah satu tujuan favorit para wisatawan dan warga lokal. Dan ini yang hot, ia juga menjadi panggung pemberdayaan para transpuan.
Raminten Cabaret Show lahir dari tangan kreatif Hamzah Sulaeman, yang juga merupakan pemilik Hamzah Batik.
Pertunjukan ini didirikan pada awal 2010 dan dengan cepat menjadi fenomena hiburan malam di Yogyakarta. Nama “Raminten” berasal dari karakter perempuan yang dimainkan oleh Hamzah di serial televisi lokal yang populer berjudul Pengkolan.