Makan Sehat, Tak Hanya Soal Hitung Kalori

Dengan prinsip tersebut, ia berpandangan, sesekali menikmati junk food atau makanan kategori Ultra Processed Food (UPF), tidak masalah. Tapi, kuncinya adalah sesekali. Dengan prinsip ‘Seimbang’ ini, kita bisa mengonsumsi makanan apa pun yang diinginkan, tanpa harus pantang makanan tertentu.

“Hanya saja, junk food dan UPF akan berdampak buruk terhadap kesehatan, jika dikonsumsi berlebihan. Boleh dikonsumsi, tapi dibatasi, misalnya sebulan sekali,” kata Jaqualine, yang lebih memilih nasi padang ketimbang junk food

Sementara itu, Dion menyarankan agar kita mengenali kebutuhan gizi diri sendiri berdasarkan aktivitas fisik harian. Karena, aktivitas tersebut bisa berpengaruh terhadap keseimbangan.

“Orang yang lebih banyak bekerja di kantor lebih baik mengonsumsi banyak buah dan sayur, bukan karbohidrat. Karena, kebutuhan karbohidratnya tidak banyak. Kebutuhan gizi seperti ini menjadi seimbang bagi dia. Sementara itu, seimbang bagi orang yang banyak beraktivitas berat, akan berbeda lagi. Seimbang pada orang tersebut berarti banyak mengonsumsi karbohidrat.” 

Lokal: murah dan mudah didapat

Dion menegaskan soal pentingnya memahami konsumsi produk lokal. “Banyak orang tidak berpikir sampai ke arah sana, bahwa memilih pangan lokal bisa membuat pangan tersebut sustain dalam jangka panjang, bahwa memilih produk impor bisa memperparah dampak pemanasan global dan menciptakan jejak karbon. Jangan sampai kitanya sehat, tapi alamnya tidak sehat,” kata Dion, yang senang menyantap pisang ambon.

Menurut Jaqualine, bahan makanan di negara tropis, seperti Indonesia, jauh lebih bernutrisi dibandingkan di negara bukan tropis. Namun, karena kita sering membaca rekomendasi diet dari negara barat, maka referensi kita jadi mengarah pada bahan makanan impor, seperti kiwi dan salmon.

“Kita bisa, kok, temukan banyak makanan lokal yang nilai gizinya setara dengan produk impor. Misalnya, kandungan omega-3 dalam ikan kembung bahkan lebih tinggi daripada salmon. Hanya saja, karena lokal dan murah, maka sering kali justru tidak dipandang. Padahal, kita punya hidden gem. Sebutlah ubi ungu yang tinggi antioksidan. Juga sorgum yang padat gizi,” kata Jaqualine. 

Ia menyebutkan banyak opsi pangan lokal yang tersedia di sekitar kita. Harganya murah, nutrisinya baik, dan sangat mudah diakses. Di setiap daerah pasti ada bahan makanan lokal, yang bisa memenuhi kebutuhan nutrisi masyarakat, tanpa harus bergantung pada pangan impor. “Papua punya sagu. Orang yang tinggal di pesisir punya kemewahan makan ikan setiap hari.” 

Tempe yang sangat Indonesia pun punya kandungan gizi setara daging sapi. Kok, bisa? Protein nabati pada umumnya tidak memiliki kandungan vitamin B12, yang terdapat pada daging. Menariknya, ketika kedelai difermentasi dalam proses pembuatan tempe, vitamin B12 itu pun terbentuk pada tempe. Itulah kenapa tempe disebut-sebut bisa menggantikan daging, dan harganya jauh lebih murah. 

Missoni dan The Ritz-Carlton Hadirkan Missoni Resort Club Eksklusif di Bali

Perpaduan Desain Ikonik Italia dengan Keanggunan The Ritz-Carlton di Tepi Pantai Bali yang Menakjubkan Missoni...

Mengungkap Perkembangan AI di Indonesia: Tren, Tantangan, dan Masa Depan Cerah!

Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan adalah salah satu teknologi yang berkembang pesat di...

Crypto Narrative dan Masa Depan Kripto: Apa yang Bisa Kita Harapkan di 2025?

Crypto narrative adalah cerita, ide, atau kepercayaan yang mendorong tren di dunia kripto. Narasi...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here