Manajemen Autopilot

Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob

Dalam berbagai curhatan di media sosial, kita kadang melihat keluhan-keluhan mengenai atasan yang control freak, yang tidak percaya kepada anggota timnya, sehingga segala sesuatu harus ditanganinya sendiri. Orang menyebutnya micro management.

Bawahan bisa jadi merasa tidak dapat berkembang meskipun ada juga yang menyerah dan membiarkan atasannya yang berpikir, memutuskan, dan mengemban tanggung jawab penuh, tanpa menyadari hal tersebut merugikan diri sendiri karena membuatnya tidak berkembang. Ini berarti suksesi tidak berjalan mulus, organisasi kesulitan untuk menumbuhkan pemimpin-pemimpin baru pada masa mendatang.

Sebaliknya, kita mungkin melihat adanya pemimpin yang berada di posisinya, tetapi secara praktis tidak banyak terlibat dengan timnya. Bisa saja mereka hadir di setiap rapat, mempertanyakan beberapa laporan, data, atau tindakan tetapi arah, keputusan, maupun perbaikan kinerja tidak digalakkan sehingga kurang berdampak positif pada direktorat yang dipimpinnya.

Bila beruntung, divisinya bisa berjalan terus tanpa kendala. Namun, motivasi, pengembangan dan perbaikan tidak signifikan. Akibatnya, banyak anak buah yang merasa bahwa atasan tidak memahami apa yang mereka kerjakan. Di samping, ada juga atasan yang tidak segan-segan mengakui bahwa prestasi anak buahnya adalah hasil dari pengarahan dan bimbingannya.

Ketika pemimpin tidak memahami dengan baik sasaran kinerja dari masing-masing individu maupun antarbagian di bawahnya, mereka akan kesulitan menggarap kolaborasi dalam tim kerjanya. Padahal, kolaborasi bukanlah sekadar sumtotal kinerja para individu di dalamnya.

Dalam kepemimpinan autopilot seperti itu, koordinasi sangatlah minim, keputusan yang ada mengambang tanpa tujuan yang jelas. Di sinilah biasanya muncul kesempatan untuk “berpolitik”, seperti upaya mencari muka atau penyebaran gosip yang tidak jelas.

Mungkinkah bawahan bisa memiliki motivasi tinggi untuk bekerja dalam kondisi seperti itu? Dalam beberapa survei mengenai kepuasan kerja, ditemukan bahwa gaji yang tinggi ternyata bukan prioritas utama seseorang dalam meningkatkan motivasinya walaupun sering dijadikan alasan untuk berpindah pekerjaan.

Sikap pemimpinlah yang sebenarnya sering menjadi faktor terbesar seseorang untuk meninggalkan sebuah organisasi. “People leaves managers, not companies,” kata Marcus Buckingham, penulis buku-buku manajemen.

Pemimpin yang vakum

Pada banyak kasus, pemimpin yang vakum seperti ini terbiasa bekerja sendiri. Mereka berfokus pada dirinya sendiri, dengan keterampilan teknis yang dikuasainya.

Keterampilan teknis yang dimilikinya bisa jadi jauh di atas anak buahnya sehingga ia menjadi sulit untuk mengembangkan rasa percaya pada bawahannya. Pemimpin ini berfokus pada tugas dan targetnya sendiri dan membiarkan bawahan mengerjakan tugas-tugas lebih mudah, tanpa berpikir untuk mengembangkan keterampilan bawahannya.

Memahami Syarat Pendirian PT Berdasarkan UU Cipta Kerja

Pendirian Perseroan Terbatas (PT) merupakan langkah penting bagi setiap pelaku usaha di Indonesia yang...

Merapi Merbabu Hotel Yogyakarta, Tawarkan Alam Pegunungan Bernuansa Budaya Jawa

Merapi Merbabu Hotel Yogyakarta merupakan hal nyata dari kenyamanan dan kepraktisan bagi para tamu...

NYDIG Sebut Bitcoin Kini Jadi Kepentingan Politik, Apa Dampaknya Jika Tak Memilikinya?

Investasi Bitcoin bukan lagi sekadar pilihan investasi biasa; kini aset digital ini menjadi kepentingan...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here