Tak jarang pemimpin seperti ini berpikir bahwa tugas mengembangkan keterampilan individu merupakan tanggung jawab masing-masing individu. Mereka tidak sadar bahwa tuntutan peran seorang pemimpin tidak sekadar penguasaan keterampilan teknis.
Organisasi pun sering tidak menyadari akibat dari pemimpin disfungsional seperti ini karena umumnya pemimpin-pemimpin ini memiliki prestasi yang baik sebagai kontributor individual, sehingga mereka pun biasanya akan disegani organisasi. Namun, kondisi dengan pemimpin-pemimpin disfungsional ini dapat berakibat fatal bagi organisasi karena menjadi semacam silent killer dalam organisasi.
Apa bahaya dari kepemimpinan vakum ini untuk jangka panjang? Bayangkan, sebuah orkestra yang terdiri atas pemain-pemain musik terbaik yang bermain musik dengan egonya masing-masing, sementara konduktornya pun sibuk dengan musiknya sendiri.
Tidakkah para pemain itu tidak merasa bahagia dan bangga dengan musik yang mereka hasilkan? Pemain-pemain berbakat tentunya akan segera pergi mencari orkestra lain yang dapat membantu mereka menghasilkan simfoni terbaik.
Absenteeism mengakibatkan alienasi
Survei pada 2015 terhadap 1.000 karyawan menunjukkan bahwa 8 keluhan terbesar para karyawan adalah tingkah laku pemimpin yang absen. Bukan pemimpin yang bullying atau menekan, melainkan justru yang tidak hadir bersama dengan anggota timnya. Persentase 8 keluhan itu yakni sebagai berikut.
- 63 persen mengatakan pemimpin tidak tahu dan tidak bisa mengakui apa yang telah dicapai bawahan.
- 57 persen pemimpin yang tidak memberi arahan yang jelas.
- 52 persen pemimpin yang tidak mempunyai waktu bertemu ataupun bertukar pikiran dengan bawahan.
- 51 persen pemimpin yang enggan berbicara dengan bawahan.
- 47 persen pemimpin yang mengambil ide bawahan dan mengaku bahwa itu idenya.
- 39 persen pemimpin yang tidak pernah memberi kritik membangun.
- 36 persen pemimpin yang tidak mengingat nama bawahan.
- 23 persen pemimpin yang tidak pernah menanyakan kehidupan lain di luar pekerjaan.
Ternyata rasa tidak bahagia dari bawahan dengan pemimpin seperti ini lebih besar dibandingkan dengan atasan yang diktator, keras, dan otoriter. Mereka merasa teralienasi dan kondisi ini dapat menurunkan motivasi para karyawan. Tingkat stres pun cenderung meningkat dalam kondisi sikut-menyikut antar-bawahan akibat tidak adanya komando yang nyata.