Untuk itu, para perekrut ini juga harus memahami bagaimana persepsi publik terhadap organisasi mereka dan bagaimana mengemas organisasinya agar dapat menampilkan image yang tepat.
Tanggung jawab tidak berhenti setelah sukses memperoleh talenta yang baik. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana memberikan lahan yang tepat agar mereka dapat berkembang optimal. Sehebat-hebatnya new hire kita, dengan pengalaman dari perusahaan ternama sekalipun, pengembangan yang terstruktur baik melalui pelatihan formal ataupun diskusi-diskusi intensif atasan dan bawahan tetap perlu terus dilakukan.
Berikan tantangan yang dapat menggelitik minat pemain baru ini untuk terus mengeksplorasi segala potensi yang dimiliki dan mengimplementasikannya dalam lingkungan barunya ini. Bimbing ia untuk dapat terus mengembangkan tidak hanya explisit knowledge, tetapi juga tacid knowledge yang dimilikinya.
Perusahaan yang membiarkan new hire-nya berjuang sendiri dan tidak memonitor bagaimana penyesuaian diri dan perkembangan mereka, tentu akan mengalami kerugian.
Sebab, bisa saja rekrutan baru ini merasa tidak mendapatkan apa yang ia harapkan dan ingin segera berpindah ke tempat lain. Melihat komitmen organisasi dalam mengembangkan karyawannya juga akan memotivasi mereka untuk terus mengembangkan potensinya.
Banyak perusahaan yang menciptakan slogan-slogan indah terkait kultur mereka dan bangga mengumandangkannya sebagai representasi dari kulturnya. Sayangnya, slogan-slogan itu sering kali tidak benar-benar menggambarkan kebiasaan yang terjadi dalam organisasinya.
Kenyataan seperti itu sering mengecewakan para new hire karena bagi mereka yang sangat mementingkan nilai kehidupan, kultur organisasi bisa jadi merupakan salah satu daya tarik awal ketika memilih untuk bergabung. Bagi organisasi pun kesesuaian antara nilai hidup para talenta ini dan kultur organisasi akan menjadi suatu keuntungan.
Bayangkan apa jadinya bila seorang individu yang sama sekali tidak percaya pada kekuatan servis dan perasaan manusia bergabung menjadi bagian dari sebuah organisasi yang menjadikan servis sebagai produk utamanya. Dari tahap awal inilah, seyogianya kita sudah mengukur apakah calon karyawan yang akan direkrut ini memiliki kecocokan kultural atau tidak.
Kultur sebagai motor penggerak perilaku individu sehari-hari dalam organisasi memang perlu terbaca secara transparan. Bagaimana cara kita berespons, bagaimana pengambilan keputusan dibuat, bagaimana penanganan konflik dilakukan, sehingga setiap insan dalam organisasi memiliki patokan perilaku-perilaku yang dapat diterima dan tidak dalam organisasi.