Oleh Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Seorang penerjemah profesional mengeluhkan orderan yang jauh berkurang saat ini akibat mesin-mesin kecerdasan buatan (AI) yang dengan mudah dapat dioperasikan oleh siapa pun. Ini adalah satu dari sekian banyak disrupsi yang terjadi akibat kemajuan teknologi.
Keterampilan-keterampilan teknis yang sarat dengan pengolahan data, perumusan, dengan cepat digantikan oleh teknologi yang jauh lebih murah bahkan gratis. Untungnya, keterampilan yang berhubungan dengan manusia, tetap sulit untuk diduplikasikan oleh mesin.
Kekuatan-kekuatan manusiawi untuk menjalin hubungan, kreativitas, berempati, kepemimpinan, tidak bisa begitu saja dimasukkan pada rumus ataupun coding–coding pemrograman.
Kita melihat pekerjaan dokter saat ini pun banyak dibantu oleh kemajuan teknologi. Hasil laboratorium yang semakin tajam, basis data yang lengkap mengenai obat-obatan sampai alat-alat operasi yang meringankan pekerjaan tangan dokter.
Namun, tanpa keterampilan bertanya, mendengarkan keluhan pasien, dan mengaitkan hasil laboratorium dengan cerita pasien mengenai rasa sakit, gaya hidup, dan keterangan lainnya; dan semata-mata berpegang pada hasil laboratorium dapat menghasilkan diagnosis yang tidak tepat.
Cerita-cerita seperti inilah yang banyak kita dengar dari pasien yang memutuskan berobat ke negeri tetangga. Bisa dikatakan, perlengkapan kedokteran kita tidak kalah canggih, tetapi kemampuan dokter untuk berempati dan memberikan perhatian penuh terhadap permasalahan pasienlah yang membuat mereka rela untuk menempuh perjalanan jauh. Bahkan, kalau perlu, membayar lebih daripada berobat di negeri sendiri.
Banyak studi mengatakan bahwa kebutuhan kemampuan manusiawi nonteknis justru akan berkembang sebanyak 2,5 kali lipat pada 2030 nanti. Banyak sikap dan pendekatan yang harus kita asah dalam menghadapi masa depan ini agar kita bisa tetap berada di atas segala kemajuan dan perkembangan yang tercipta.
Perkuat cara pikir
Ada ahli yang mengatakan bahwa saat kita merasa sudah mengoptimalkan fungsi otak kita untuk berpikir secara maksimal sampai hampir tidak bisa berpikir lagi, sebenarnya kita hanya menggunakan sekitar 40 persen kapasitas otak.
Apalagi bila kita hanya menggunakannya untuk mengerjakan rutinitas harian dengan cara yang sama, tanpa repot-repot berpikir pengembangan apa yang bisa dilakukan.
Apa added value yang kita miliki dibandingkan dengan robot yang lebih presisi dan bekerja tanpa lelah? Padahal, otak kita hidup dan bisa dikembangkan lebih jauh, misalnya dengan mengaktifkan cara berpikir kita.