Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Bila ingin melakukan efisiensi dan melihat ke dalam neraca perusahaan, kita akan menemukan bahwa unsur manusia umumnya tercantum pada bagian beban. Tidak heran dalam kondisi krisis, langkah pengurangan beban ini sering diambil oleh organisasi mengingat komposisinya bisa jadi sangat besar dalam neraca tersebut.
Namun, kita juga sadar bahwa pelaku agenda efisiensi, penggerak inovasi, dan yang mendorong perubahan terjadi pun adalah para manusia ini. Pada akhirnya, banyak organisasi kemudian mengganti nama divisi pengelola sumber daya manusia (SDM) dengan nama human capital, mengingat manusia adalah aset yang sangat dibutuhkan organisasi untuk memacu produktivitas.
Berbagai perangkat lunak kita gunakan untuk mengelola potensi dan kapasitas di lingkungan kerja. Semua ini dimungkinkan dengan teknologi yang semakin canggih. Dengan satu klik saja, kita bisa melihat latar belakang individu dan seberapa banyak ia berkontribusi pada lembaga kita.
Namun, seiring kemajuan teknologi, perubahan prioritas pun terjadi pada generasi muda saat ini, yang sepertinya memiliki posisi tawar lebih tinggi. Banyak dari generasi sekarang yang lebih memilih organisasi yang dapat memenuhi aspirasi mereka.
Artinya, manajemen talenta yang selama ini kita lakukan bisa jadi tidak lagi efektif untuk dapat memacu produktivitas karyawan. Kita mungkin perlu melakukan pendekatan tambahan atau justru yang berbeda sama sekali dengan apa yang sudah kita lakukan.
Sepertinya kita memang perlu mendalami dinamika manusia dengan lebih intensif lagi. Istilah people centric tidak bisa hanya di bibir. Kita perlu memikirkan strategi yang benar-benar back to human.
Pandemi juga membuat banyak individu lebih memperhatikan kesehatan mental dan fisiknya. Hal ini tentu berdampak pada kebijakan yang dimiliki organisasi mengenai pengelolaan manusianya.
Kita perlu mewaspadai apakah kemajuan teknologi juga membuat berkurangnya sikap humanis kita akibat dari pengelolaan SDM yang kian mekanistis? Padahal, kita tahu bahwa kondisi itu dapat membuat individu tidak lagi membawa dirinya secara utuh di tempat kerja.
Arti pendekatan humanis di tempat kerja
Para praktisi SDM merasakan adanya paradoks yang tidak nyaman. Di satu sisi, mereka tahu bahwa membangun hubungan dengan karyawan adalah hal yang penting. Di sisi lain, target produktivitas adalah beban tanggung jawab yang harus dipenuhi karyawan sehingga pemantauan kontribusi karyawan pun dilakukan secara intensif dan berdisiplin.