Membangun Kecerdasan Emosional Pemimpin

Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob

Dua puluh tahun belakangan ini, para ahli pemasaran mulai menyadari, mengiklankan produk dengan hanya menonjolkan fitur produk tidak terlalu efektif lagi. Banyak orang yang membeli lebih karena alasan emosional, seperti senang dengan tokoh iklannya. Hasil penelitian membuktikan, bahwa hanya 15 persen yang membeli atas dasar rasionalitas. Untuk itu, diperlukan kecerdasan emosional (emotional quotient).

People often buy on emotion and backfill with logic, kata seorang marketer profesional. Jadi, yang lebih penting adalah what it makes me feel daripada what it does for me.  Fakta inilah yang kemudian membuat perusahaan-perusahaan, seperti Google, Facebook, Apple, sampai Mercedes-Benz secara serius mendalami kebutuhan pelanggannya dan menemukan konten emosional dalam merancang produk mereka. Kita bisa melihat upaya Nike yang menjual sepatu dengan konteks emosional yang sangat luas.

Sementara para marketer sibuk dengan emosionalitas manusia, ada satu area yang sering dilupakan orang, khususnya para pemimpin, yaitu bawahannya sendiri. Banyak yang merasa, connection atasan-bawahan memang sudah alami sehingga tidak memerlukan usaha khusus untuk mengembangkannya.

Ada pula yang merasa, bila hubungan dengan bawahan baik, penyelesaian tugas menjadi lemah dan sasaran terancam sulit tercapai. Belum lagi ada atasan yang tidak mau berada dekat dengan bawahan karena khawatir wibawanya hilang. Apa akibatnya?

Tak jarang kita menyaksikan banyaknya lack of trust ditunjukkan dengan sikap sinis karyawan terhadap sikap atasan dan tuntutan kerjanya. Ini semua bersumber dari emosi. Jadi, tak ada pilihan, emosionalitas perlu diaduk dalam kultur setiap perusahaan.

Dunia memang sudah berubah. Dulu, sesudah industrial age, kita beranjak ke knowledge based economy, yaitu manajemen sumber daya manusia mulai dikelola, sekarang, kita sudah memasuki dunia connection based economy. Pekerjaan sekarang lebih membutuhkan inteligensi emosi, seperti empati, kolaborasi, dan kreativitas.

Dalam suasana kepemimpinan yang mencekam dan menyakitkan hati, tidak mungkin kreativitas muncul. Yang terjadi malahan matinya sikap kritis yang sebenarnya adalah cikal bakal kreativitas.

Emotion is fundamental to being a human. Apalagi dalam dunia kerja yang sudah didominasi oleh para milenial, kita perlu memperhitungkan sifat, visi, dan ekspektansi para bawahan. Hasil penelitian mengatakan, para milenial ini ingin mengerjakan pekerjaan yang berdampak pada perusahaan. Bahkan, penelitian mengatakan bahwa 67 persen dari populasi milenial lebih senang bekerja di perusahaan dengan social responsibility yang lebih besar. Emotionally connective workplaces are more powerful than ever before. Emotion is core to any business relationship.

Jadi, seberapa banyak pun perusahaan mencetak keuntungan, bila keterlibatan emosional karyawan lemah, perusahaan ini tidak memiliki nilai tambah. Hanya dengan hubungan emosional self interest karyawan bisa sejalan dengan interest perusahaan.
Keterlibatan emosi karyawan juga perlu memperhatikan konteks bisnis perusahaan.

Makan Sehat, Bisa Murah dan Mudah, Kok!

Sekarang ini terdapat berbagai jenis diet yang populer dan banyak dicoba. Ada diet yang...

Umana Bali, LXR Rayakan Ulang Tahun Pertama dengan Perayaan Spesial Selama 3 Hari

Umana Bali, properti dari LXR Hotels & Resorts, baru saja merayakan ulang tahun pertamanya...

89% Generasi Milenial dan Gen Z Optimis pada Masa Depan

Meskipun Keduanya Mengkhawatirkan Pekerjaan, Pendidikan, dan KesehatanDi Indonesia, ketika berbicara terkait masa depan Generasi...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here