Seorang atasan perlu memberi gambaran sejelas mungkin pada bawahannya tentang apa yang sedang terjadi dalam pergerakan bisnis perusahaan dan apa manfaatnya buat karyawan sendiri secara langsung dan secara tidak langsung ke perusahaan.
Membangun perusahaan yang bermodal konektivitas emosi
Sekarang, nilai tambah perusahaan sebagian besar terletak pada keterampilan dan kreativitas manusianya. Kebutuhan pelanggan yang senantiasa berubah membuat perusahaan juga secara agile bergerak mengikuti kemauan pasar. Bila karyawan mengandalkan atasan dan hanya bertindak sebagai robot menunggu perintah, perusahaan tersebut tidak bisa dinilai sebagai perusahaan yang kreatif.
Perusahaan seperti Southwest Airlines berani memanfaatkan sense of belongingness karyawannya untuk bertahan di masa sulit. CEO-nya Herb Kelleher, dalam town hall dengan karyawannya ketika menghadapi kesulitan, mengumumkan bahwa tidak ada seorang pun yang akan dipecat, tetapi setiap orang perlu bekerja lebih keras.
Alhasil, Kelleher mendapatkan bantuan karyawan yang luar biasa untuk mempersingkat waktu boarding, check-in, dan lain lain. Bahkan, dalam masa-masa sulit, karyawan bersedia menyumbangkan sebagian gajinya untuk mengurangi beban perusahaan.
Jadi, bagaimana kita memanfaatkan emosi dalam membangun kerja tim dan kekuatan aset manusia kita? Semua orang tahu, emosi itu penting, tetapi tidak semuanya dapat menggunakan emosi untuk menjadikannya sebagai dasar memimpin. Banyak yang berpikir, menggunakan emosi dalam memimpin adalah mengekspresikan emosi.
Padahal, ekspresi emosi tidak sepenuhnya diperlukan. Yang lebih diperlukan adalah sambung rasa yang terjadi antara atasan dan bawahan. Tidak selamanya hubungan ini tampak dari ekspresi emosi.
Ada beberapa hal yang perlu menjadi panduan untuk menyambung rasa ini.
Pertama, berilah perhatian penuh pada apa yang dirasakan lawan bicara ketika memberi instruksi, menanyakan perkembangan proyek ataupun menindaklanjuti tugas. Dari sana, kita dapat melanjutkan pembicaraan dengan hal-hal yang lebih personal dan mendalam.
Kedua, hasil penelitian mengatakan bahwa mood itu menular. Setiap orang mempunyai bad days. Namun, sebagai seorang pemimpin, mood negatif yang kita rasakan tidak boleh membebani tim. Ketidakpuasan kita terhadap kinerja bawahan pun perlu dikomunikasikan dengan penuh pertimbangan agar tidak membangkitkan kekecutan hati mereka sehingga sulit untuk tetap berkomunikasi secara sejajar dengan atasan.
Ketiga, dalam memimpin, kita tidak bisa bersembunyi di balik kenyataan bahwa kita adalah orang yang introvert, tidak bisa ditebak perasaannya. Pemimpin harus mengembangkan extraversion-nya, menggunakan emosi dan nilai yang dianut bawahan, serta berusaha mengarahkan bawahan sesuai dengan visi perusahaan. Tak ketinggalan, membangun kecerdasan emosional bagi dirinya sendiri.
Keempat, sikap pemimpin juga perlu konsisten dan penuh optimisme. Respek adalah awal dari hubungan yang jujur dan efektif. Kita pun perlu menyebarkan optimisme agar semua bawahan yakin meskipun jalan perusahaan yang tidak selamanya mulus.
For leaders, the first task in management has nothing to do with leading others, step one poses the challenge of knowing and managing oneself – Daniel Goleman.
EXPERD, HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 15 Januari 2022